Adakah Sudan dalam Benak Kita, Kaum Muslim?

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Sudan kembali membara. Di tengah konflik yang belum usai di Gaza, darah kaum muslimin kembali tertumpah di tanah Afrika itu. Krisis kemanusiaan berlarut, ribuan orang mengungsi, pembunuhan massal dan pemerkosaan menjadi pemandangan yang seolah lumrah karena terlalu sering terjadi.

Namun, di balik kepedihan itu, dunia seakan diam. Umat Islam di berbagai belahan dunia pun seolah hanya menjadi penonton.

Kilasan Sejarah: Ketika Seruan Satu Muslimah Menggetarkan Dunia

Sejarah pernah mencatat bagaimana seorang wanita muslimah dari Bani Hasyim dilecehkan di pasar Ammuriah oleh tentara Romawi. Mendengar seruan “Waa Mu’tashimaah!”, Khalifah Al-Mu’tashim kala itu mengerahkan puluhan ribu pasukannya. Kota Ammuriah dikepung selama lima bulan hingga akhirnya dibebaskan.

Tiga puluh ribu tentara Romawi tewas, dan tiga puluh ribu lainnya ditawan. Hanya demi menjaga kehormatan satu wanita muslimah.

Kini, berabad-abad kemudian, ribuan perempuan muslim menjadi korban kekerasan, namun tak satu pun pemimpin muslim yang tampil seperti Al-Mu’tashim untuk membela mereka.

Sudan dan Lumpuhnya Kepemimpinan Dunia Islam

Sudan adalah salah satu negara terbesar di Afrika, berbatasan dengan tujuh negara, dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Negeri ini memiliki kekayaan alam melimpah, termasuk cadangan emas yang besar.

Laporan Chatham House berjudul “Emas dan Perang di Sudan” menyebut bahwa perdagangan emas senilai miliaran dolar telah menjadi sumber utama pendanaan konflik sejak 2023. Produksi resmi emas Sudan mencapai lebih dari 80 ton per tahun sebelum perang pecah.

Namun, di balik perebutan sumber daya itu, terselip percaturan kepentingan negara-negara besar. Amerika Serikat, Inggris, hingga sekutunya seperti Uni Emirat Arab dan Israel, diduga ikut memainkan peran untuk merebut pengaruh politik dan ekonomi di kawasan tersebut.

Konflik di Sudan bukan semata persoalan etnis, melainkan perebutan hegemoni di wilayah strategis dan kaya sumber daya alam. Sejak runtuhnya Kekhilafahan Utsmani, negeri-negeri muslim tak lagi memiliki kekuatan politik global untuk menandingi ambisi kapitalisme Barat.

Sekulerisme: Akar Kemandekan Dunia Islam

Hegemoni Barat tak hanya melalui kekuatan militer, tetapi juga ideologi. Sekulerisme—yang memisahkan agama dari kehidupan publik—membuat umat Islam kehilangan arah. Nasionalisme mempersempit pandangan umat, hingga tak lagi peduli dengan penderitaan saudara seiman di negeri lain.

Akibatnya, isu-isu kemanusiaan seperti di Gaza, Sudan, Rohingya, dan Xinjiang terus berulang tanpa solusi tuntas. Kaum muslimin kehilangan semangat jihad dan solidaritas yang pernah menjadikan Islam sebagai kekuatan penegak keadilan dunia.

Saatnya Mengaktifkan Kembali Jalan Menuju Peradaban Mulia

Kesadaran politik umat Islam hari ini cenderung rendah. Padahal, sebagaimana dikatakan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, “Politik adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri.” Dalam pandangan Islam, politik bukan sekadar urusan pemilu, melainkan upaya mengatur kehidupan dengan hukum Allah.

Umat Islam perlu kembali memahami hakikat perjuangan ini—bahwa hanya sistem Islam yang mampu menghapus penindasan, memperbaiki tatanan ekonomi, dan menegakkan keadilan bagi seluruh alam.

Firman Allah dalam QS Al-A’raf ayat 96 mengingatkan:

“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”

Begitu pula janji Allah dalam QS An-Nur ayat 55, bahwa kekuasaan akan diberikan kepada orang beriman yang menegakkan amal saleh.

Persatuan negeri-negeri muslim di bawah satu kepemimpinan yang adil dan berlandaskan syariat adalah keniscayaan sejarah. Hanya tinggal satu pertanyaan: apakah kita siap menjemput janji itu, atau memilih berdiam diri?

Wallahu a’lam bishshawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *