www.jurnalkota.co.id
Oleh: Surti Nurpita, S.Hum.
Pengajar di Sleman, Yogyakarta
Peristiwa ledakan yang terjadi di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta Utara kembali mengguncang dunia pendidikan. Pelaku yang diduga membawa bom molotov dikabarkan merupakan siswa kelas XII yang sebelumnya menjadi korban perundungan. Remaja tersebut tinggal bersama bibinya sementara kedua orang tuanya berada di luar negeri.
Kasus ini menambah panjang daftar dampak serius bullying pada peserta didik dari gangguan kesehatan mental, tindakan menyakiti diri sendiri, hingga upaya mencelakai orang lain.
Bullying di Lingkungan Pendidikan
Data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan, sekitar 50 persen kasus perundungan terjadi di tingkat SD dan SMP. Pada jenjang SMA/SMK angkanya mencapai 18,78 persen, sementara sisanya terjadi di madrasah tsanawiyah dan pesantren (Katadata, 6/7/2023).
Fenomena ini ibarat gunung es: kasus yang terlapor hanya sebagian kecil, sementara yang tidak terungkap jauh lebih banyak.
Bentuk perundungan pun beragam, baik verbal maupun nonverbal. Bullying verbal dapat berupa mengejek, menghina kelemahan fisik, atau mengolok-olok. Sementara itu, perundungan fisik seperti memukul, menjambak, atau menampar juga banyak ditemukan. Segala bentuk tindakan tersebut jelas tidak dapat dibenarkan dan memerlukan penyelesaian yang serius.
Mengapa Bullying Dianggap “Biasa”?
Dalam sejumlah kasus, tindakan bullying kerap dianggap lumrah. Banyak yang menilai dampaknya tidak signifikan, padahal baik pelaku maupun korban sama-sama berpotensi mengalami kerusakan psikologis jangka panjang.
Penulis berpendapat, akar persoalan ini berhubungan dengan sistem sosial yang tidak berpijak pada nilai moral yang kokoh. Dalam konteks ini, nilai-nilai kebebasan yang hadir dalam sistem kapitalisme khususnya kebebasan berperilaku kerap ditafsirkan tanpa batas yang jelas. Akibatnya, standar baik-buruk perilaku sangat relatif dan dapat dipahami berbeda oleh setiap individu.
Pendekatan Islam dalam Menangani Bullying
Jika problem utama muncul dari tidak adanya standar perilaku yang berbasis nilai keagamaan, maka menurut penulis, penyelesaiannya perlu kembali pada prinsip-prinsip moral Islam. Ada tiga pilar pembentuk karakter individu yang ditekankan:
1. Pilar Keluarga
Keluarga menjadi lingkungan pertama yang menanamkan akidah dan nilai baik-buruk berdasarkan ajaran agama. Anak yang memahami standar moral tersebut akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan tidak mudah terpengaruh melakukan perundungan.
2. Pilar Masyarakat
Lingkungan masyarakat termasuk sekolah berperan sebagai kontrol sosial. Budaya saling mengingatkan dan mengajak pada kebaikan dapat membentuk ekosistem yang sehat, sehingga perilaku perundungan dapat ditekan.
3. Pilar Kebijakan Negara
Ketika keluarga dan masyarakat tidak mampu lagi membentengi individu, negara hadir dengan perangkat aturan dan sanksi yang tegas. Dalam perspektif Islam, sanksi tidak hanya bertujuan memberi efek jera, tetapi juga menjadi bentuk penyucian bagi pelaku. Dengan penegakan hukum yang jelas, potensi terjadinya perundungan dapat ditekan.
Pada akhirnya, membangun lingkungan pendidikan yang bebas bullying membutuhkan sinergi tiga pilar tersebut. Tanpa itu, kasus perundungan akan terus berulang dan menyisakan luka panjang bagi generasi muda.
Wallahu a’lam bis shawab.







