www.jurnalkota.co.id
Oleh: Aulia Zuriyati
Aktivis Muslimah
Kasus bunuh diri di kalangan remaja kembali menambah daftar panjang persoalan serius yang dihadapi Indonesia. Dalam sepekan terakhir, sejumlah anak ditemukan meninggal dunia diduga akibat bunuh diri. Peristiwa itu terjadi di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat, serta Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.
Di Sawahlunto, dua siswa sekolah menengah pertama ditemukan tewas di lingkungan sekolah. Berdasarkan penyelidikan sementara kepolisian, tidak ditemukan indikasi perundungan. Korban pertama, Bagindo, ditemukan tergantung di ruang kelas pada Selasa (28/10/2025). Korban kedua, Arif, ditemukan tergantung di ruang OSIS pada Senin (6/10/2025). (Kompas.id, 30/10/2025)
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono juga memaparkan fakta yang mengkhawatirkan. Pemeriksaan kesehatan jiwa terhadap sekitar 20 juta anak Indonesia menunjukkan lebih dari dua juta di antaranya mengalami berbagai bentuk gangguan mental. (Ameera.republika.co.id, 30/10/2025)
Tekanan yang Tak Terlihat
Maraknya kasus bunuh diri di kalangan pelajar perlu dilihat hingga ke akar persoalan. Tidak semua kasus dipicu oleh perundungan. Banyak remaja yang tampak ceria di luar, tetapi menyimpan tekanan yang dalam baik tuntutan akademik, konflik dalam keluarga, hingga tekanan sosial dari media digital.
Kecanggihan teknologi menghadirkan ruang perbandingan tanpa batas. Remaja mudah merasa tertinggal, gagal, atau tidak berharga. Di saat yang sama, sekolah dan keluarga sering terfokus pada capaian akademik, namun abai terhadap kebutuhan emosional anak.
Beberapa kasus juga menunjukkan penggunaan teknologi, termasuk Artificial Intelligence (AI), secara keliru dapat memperburuk niat bunuh diri baik melalui akses informasi yang salah maupun pengaruh konten digital yang tidak sesuai. Semua ini menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar gangguan psikologis individu, tetapi cerminan dari kerusakan sistem yang gagal memberikan arah dan makna hidup bagi generasi muda.
Manusia dalam Tekanan Sistem yang Materialistis
Dalam sistem kapitalis yang mendominasi kehidupan saat ini, manusia diukur dari produktivitas, prestasi, dan kepemilikan materi. Anak-anak sejak kecil diajarkan untuk bersaing tanpa jeda. Nilai diri kerap diukur dari keberhasilan akademik atau pencapaian duniawi lainnya bukan karakter, akhlak, atau keimanan.
Kegagalan kecil pun bisa terasa seperti kehancuran besar. Relasi sosial menjadi serba transaksional. Orang tua tenggelam dalam tuntutan ekonomi, sementara anak kehilangan tempat untuk bercerita dan bersandar. Upaya mencari kebahagiaan pun sering berujung pada kekosongan batin.
Dalam kondisi seperti ini, depresi, kecemasan, dan rasa putus asa tumbuh subur di kalangan remaja. Ini merupakan buah dari sistem yang menuhankan materi, namun mengabaikan nilai kemanusiaan dan spiritual.
Pandangan Islam tentang Martabat Manusia
Islam menempatkan kehidupan manusia bukan sekadar untuk bertahan hidup, melainkan menjalankan tugas sebagai hamba dan khalifah di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam… dan Kami lebihkan mereka atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
(QS. Al-Isra’: 70)
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki kehormatan dan nilai di sisi Allah. Jika ada remaja yang merasa hidupnya tak berguna, sesungguhnya mereka terjebak dalam pandangan dunia yang keliru pandangan yang dibentuk oleh sistem yang tidak memuliakan manusia sesuai fitrahnya.
Solusi yang Holistik dalam Perspektif Islam
Solusi Islam terhadap krisis ini tidak hanya sebatas peningkatan layanan konseling atau kampanye kesehatan mental. Negara wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat sehingga tekanan ekonomi tidak menjadi beban tambahan bagi keluarga.
Sistem pendidikan dalam Islam dirancang membentuk kepribadian yang kokoh, mengutamakan ketakwaan dan akhlak, bukan sekadar capaian akademik. Masyarakat dibina dengan nilai ukhuwah dan kepedulian sosial. Seperti sabda Rasulullah SAW:
“Barang siapa membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantu kebutuhannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan fondasi keimanan, kasih sayang, dan keadilan, remaja tidak akan merasa hidupnya sia-sia atau tidak bermakna.
Menutup Krisis dengan Perubahan Sistem
Bunuh diri di kalangan pelajar merupakan cermin gagalnya sistem saat ini dalam membentuk manusia yang berkepribadian tangguh dan beriman. Selama pendidikan dipisahkan dari nilai-nilai Islam, dan ukuran keberhasilan hanya didasarkan pada materi, krisis kejiwaan remaja akan terus berulang.
Islam tidak hanya menawarkan tuntunan spiritual, tetapi sistem kehidupan yang menyeluruh. Hanya melalui penerapan nilai-nilai Islam secara utuh, ketenangan jiwa dan kesejahteraan manusia dapat diwujudkan baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat.
Wallahualam.







