Kapitalisasi Kebutuhan yang Mengubah Gaya Hidup

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Jagat media sosial ramai memperbincangkan kunjungan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) ke sebuah pabrik air mineral di Subang yang viral di dunia maya. Dalam video yang beredar, KDM tampak terkejut saat mengetahui sumber air baku untuk air minum dalam kemasan (AMDK) bukan berasal dari mata air pegunungan seperti yang kerap ditampilkan dalam iklan, melainkan dari empat titik sumur bor di kawasan pabrik tersebut.

Banyak warganet bereaksi. Sebagian merasa tertipu oleh klaim “air pegunungan” yang ternyata tidak sesuai kenyataan, sementara sebagian lain menilai hal itu wajar dalam dunia pemasaran. Namun di balik kontroversi tersebut, ada hal yang lebih mendasar: tanpa disadari, masyarakat tengah digiring pada persepsi bahwa air sehat adalah air yang dikemas, berlabel pegunungan, dan dijual di pasaran.

Ketimpangan dalam Akses dan Persepsi

Iklan dan strategi pemasaran yang masif menjadikan air dalam kemasan seolah identik dengan gaya hidup sehat dan modern. Semakin premium kemasannya, semakin kuat citra bahwa produk tersebut lebih baik. Padahal, tidak semua lapisan masyarakat memiliki kemampuan untuk membeli air mineral berlabel “premium”.

Kelas sosial pun terasa tegas. Mereka yang mampu dianggap lebih “sehat” karena mengonsumsi air bermerek, sementara masyarakat bawah cukup dengan air biasa. Inilah cara kapitalisme bekerja—mengemas kebutuhan dasar menjadi simbol status sosial.

Air yang Melimpah, Namun Diimpor

Ironisnya, di tengah limpahan sumber daya air yang dimiliki Indonesia, impor air mineral justru meningkat pesat. Data Kementerian Perdagangan mencatat, sepanjang Januari–Mei 2025 nilai impor air mineral (HS 22011010) mencapai 1,74 juta dolar AS, naik 148 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya. Volume impornya pun melonjak 125 persen menjadi 1.707 ton.

Negara pemasok terbesar antara lain Prancis (826 ton), Fiji (340 ton), Italia (320 ton), Jepang (41 ton), dan Arab Saudi (24 ton). Bahkan impor produk es dan salju ikut meroket hingga 709 persen secara volume. Produk-produk tersebut umumnya dipasarkan untuk restoran, hotel berbintang, atau layanan penerbangan, menjadikannya simbol eksklusivitas baru.

Mengapa negara sebesar Indonesia, dengan hutan dan sungai yang berlimpah, justru mengimpor air? Jawabannya kembali pada pola konsumsi dan kapitalisasi gaya hidup yang tumbuh subur di bawah sistem ekonomi liberal.

Kapitalisasi dan Dampaknya terhadap Sumber Daya Air

Banyak mata air kini dikuasai perusahaan air minum. Mereka mengebor sumber air tanah dalam (akuifer) untuk memenuhi kebutuhan industri. Meski ada pengawasan teknis dari pemerintah, praktik ini berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis: penurunan muka air tanah, hilangnya mata air alami, bahkan amblesan tanah.

Kapitalisme mengubah sumber daya publik menjadi komoditas. Air yang seharusnya menjadi hak setiap warga diperdagangkan dengan logika keuntungan. Dalam sistem ini, negara kerap lemah dalam regulasi dan abai terhadap aspek keadilan sosial maupun prinsip syariah yang menempatkan air sebagai kepemilikan umum.

Air sebagai Kepemilikan Publik

Dalam pandangan Islam, air merupakan milik bersama yang tidak boleh diprivatisasi. Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Artinya, negara berkewajiban mengelola sumber daya air demi kemaslahatan rakyat, bukan menyerahkannya kepada korporasi. Pengelolaan oleh negara memungkinkan akses air bersih gratis dan merata melalui sistem perpipaan atau pengemasan yang efisien, dengan biaya yang ditanggung oleh baitulmal.

Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), standar pelayanan publik tidak dibedakan antara kelas ekonomi. Tujuannya bukan keuntungan, melainkan pemenuhan amanah dan tanggung jawab sosial. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (khalifah) itu laksana penggembala, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Menata Ulang Paradigma Pengelolaan Air

Air bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi hak dasar manusia. Jika terus dikomersialisasi, krisis air bersih hanya tinggal menunggu waktu. Negara harus hadir dengan regulasi yang adil, berpihak pada rakyat, dan berlandaskan prinsip pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan bersama.

Karena sejatinya, air adalah sumber kehidupan bukan sumber keuntungan.

Wallahu a’lam bisshawab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *