www.jurnalkota.co.id
Oleh: Nahda Al Fiqrah
Mahasiswa Bantul, DIY
Dunia pendidikan kembali terusik oleh dua peristiwa yang memantik perdebatan publik. Pertama, kasus Kepala SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Dini Fitri, yang diduga menampar siswa karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Insiden itu sempat berujung pada laporan ke polisi, meski akhirnya diselesaikan secara damai setelah orang tua siswa mencabut laporannya. Kedua, beredarnya foto seorang siswa SMA di Makassar, berinisial AS, yang tampak santai merokok sambil mengangkat kaki di samping gurunya, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah.
Kedua kasus tersebut menyingkap persoalan yang lebih mendasar: pudarnya wibawa guru dan lunturnya nilai-nilai moral di kalangan pelajar. Fenomena ini bukan sekadar kenakalan remaja, tetapi gejala krisis karakter, disiplin, dan tanggung jawab sosial yang kian dalam. Guru kini berada dalam posisi sulit, di satu sisi dituntut menegakkan disiplin, di sisi lain dibayangi ketakutan menghadapi aduan hukum ketika menegur siswa. Ruang abu-abu antara kewenangan guru dan perlindungan hukum terhadapnya menjadikan dunia pendidikan kehilangan arah moralnya.
Guru Kehilangan Wibawa
Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa sebagian siswa merasa memiliki kebebasan mutlak bertindak di luar batas etika. Nilai sopan santun dan penghormatan terhadap guru kian pudar. Guru yang seharusnya menjadi figur otoritatif kini kerap diperlakukan sejajar, bahkan lebih rendah. Padahal, dalam budaya bangsa, guru menempati posisi terhormat karena perannya membentuk kepribadian generasi penerus. Ketika guru kehilangan wibawa, hilang pula pijakan moral bagi peserta didik.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkuat kekhawatiran tersebut. WHO memperkirakan sekitar 15 juta remaja berusia 13–15 tahun di seluruh dunia kini menggunakan rokok elektrik atau vape. Lebih memprihatinkan, remaja memiliki kemungkinan sembilan kali lebih besar menggunakan vape dibandingkan orang dewasa. Tren global ini mencerminkan betapa perilaku merokok di kalangan pelajar telah menjadi fenomena sosial, termasuk di Indonesia. Lemahnya pengawasan terhadap peredaran rokok dan vape di kalangan remaja turut memperparah situasi.
Krisis Karakter dan Sistem yang Longgar
Sistem pendidikan yang terlalu longgar dan liberal—memberikan kebebasan tanpa arah moral—telah melahirkan generasi yang bebas namun abai terhadap tanggung jawab. Merokok dianggap simbol kedewasaan, bukan kebiasaan berisiko. Pendidikan pun lebih sibuk mengejar nilai akademik ketimbang menanamkan budi pekerti. Akibatnya, lahir generasi cerdas secara intelektual tetapi rapuh secara moral.
Kita tentu sepakat, kekerasan dalam pendidikan tak bisa dibenarkan. Namun demikian, guru yang berupaya menegakkan disiplin juga berhak atas perlindungan hukum. Dalam perspektif keislaman, menegur kesalahan dan mencegah kemungkaran merupakan bagian dari tanggung jawab moral. Tentu caranya harus dengan bijak, tanpa kekerasan, disertai pemahaman akan latar belakang perilaku siswa.
Pendidikan Berbasis Nilai Spiritual
Kegagalan menanamkan nilai spiritual menjadi akar dari pudarnya karakter. Sistem pendidikan yang menekankan kebebasan individu tanpa fondasi ketakwaan menjauhkan peserta didik dari nilai luhur. Pendidikan seharusnya tidak berhenti pada transfer ilmu, melainkan membentuk akhlak dan kesadaran moral.
Dalam pandangan Islam, guru memiliki kedudukan mulia—bukan sekadar pengajar, melainkan pembentuk peradaban. Rasulullah SAW menempatkan ulama dan pendidik sebagai penyebar ilmu dan kebaikan. Karena itu, ketika wibawa guru direndahkan, sejatinya yang runtuh bukan hanya sosoknya, tetapi pilar peradaban itu sendiri.
Adapun soal merokok, meski sebagian pandangan fikih menyebut hukumnya mubah, Islam melarang segala hal yang membahayakan diri dan orang lain. Merokok membawa dampak buruk bagi kesehatan dan menumbuhkan sikap boros serta lalai terhadap amanah menjaga tubuh. Di sekolah, kebiasaan ini mencerminkan lemahnya pengendalian diri dan tanggung jawab pribadi.
Menata Ulang Arah Pendidikan
Krisis moral di sekolah menjadi tanggung jawab bersama—guru, orang tua, masyarakat, dan negara. Negara harus hadir melindungi guru agar dapat mendidik dengan tegas tanpa rasa takut. Sekolah perlu mengembalikan fungsi utamanya sebagai lembaga pembentukan karakter. Sementara masyarakat harus kembali menghormati guru sebagai pembimbing moral generasi muda.
Jika pendidikan hanya mencetak generasi yang bebas tanpa kendali, masa depan bangsa akan rapuh. Namun jika nilai iman, akhlak, dan sopan santun kembali ditanamkan, masih ada harapan lahirnya generasi yang beradab dan bertanggung jawab—generasi yang mampu mengembalikan wibawa guru sekaligus martabat moral bangsa.**







