www.jurnalkota.co.id
Oleh: Suci Musada, S.M.
Aktivis Muslimah
Inspeksi mendadak (sidak) Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ke pabrik PT Tirta Investama (Aqua) di Subang baru-baru ini menyita perhatian publik. Dari kunjungan itu terungkap bahwa air yang selama ini diklaim berasal dari pegunungan ternyata diambil dari sumur bor【Media Indonesia, 25/10/2025】.
Namun, persoalan yang mencuat bukan sekadar soal asal-usul sumber air. Di balik pagar tinggi pabrik air minum dalam kemasan itu, tersimpan kisah yang lebih menyentuh: bagaimana air—sumber kehidupan—berubah menjadi komoditas ekonomi yang mengeringkan sumur-sumur rakyat di sekitarnya.
Dulu, di kaki pegunungan, gemericik air menjadi nyanyian alam bagi petani dan penggembala. Kini, suara itu tergantikan oleh deru mesin penyedot air tanah. Truk tangki lalu-lalang, mengangkut kehidupan dalam bentuk botol plastik. Ironinya, warga yang tinggal di sumber air justru harus membeli air untuk minum.
Air Menjadi Barang Dagangan
Inilah potret memilukan kapitalisasi air di negeri yang kaya sumber daya alam. Air, yang semestinya menjadi hak bersama, kini diperjualbelikan. Perusahaan-perusahaan besar menggali akuifer dengan kekuatan mesin raksasa, menyedot air tanah hingga jauh ke perut bumi. Akibatnya, permukaan air tanah menurun, mata air mengering, dan beberapa wilayah mulai mengalami amblesan tanah.
Ironinya, semua dilakukan atas nama “izin resmi”. Ketika aktivitas eksploitasi dilegalkan, maka kejahatan ekologis pun berubah rupa menjadi “bisnis sah”. Kapitalisme menukar keadilan dengan legalitas, menukar keberkahan alam dengan laporan keuntungan.
Regulasi yang seharusnya melindungi justru sering kali menjadi tameng. Lembaga-lembaga seperti Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR kerap terlihat tak berdaya di hadapan kekuatan modal. Dalam sistem kapitalisme, suara rakyat kerap tenggelam oleh derasnya aliran investasi.
Logika Kapitalisme yang Kering Nurani
Kapitalisme bekerja dengan logika dingin: siapa yang punya modal, dialah yang berkuasa. Tidak ada ruang bagi keadilan atau empati bagi rakyat kecil. Sistem ini memanfaatkan celah hukum, menundukkan kebijakan, dan menjustifikasi eksploitasi dengan alasan pertumbuhan ekonomi.
Dalam sistem semacam ini, air bukan lagi sumber kehidupan, melainkan alat dagang. Ketika air diperdagangkan, yang kering bukan hanya tanah, tetapi juga nurani.
Islam dan Keadilan Pengelolaan Sumber Daya
Islam menawarkan pandangan berbeda. Dalam ajarannya, air termasuk maa’ul musytarak—milik bersama yang tidak boleh dimonopoli individu atau korporasi. Rasulullah SAW bersabda:
“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR Abu Dawud)
Artinya, air adalah hak publik yang harus dikelola negara demi kemaslahatan seluruh rakyat. Negara dalam sistem Islam tidak menyerahkan pengelolaan sumber daya air kepada swasta, melainkan memastikan distribusinya merata hingga ke pelosok desa.
Jika ada pihak yang ingin memanfaatkan sumber air, maka harus dengan izin ketat dan pengawasan yang menjamin tidak terjadi kerusakan ekologi. Bisnis dalam Islam bukan ruang bagi kerakusan, melainkan sarana menebar keberkahan dan menegakkan amanah.
Lingkungan pun ditempatkan sebagai amanah Ilahi, bukan objek eksploitasi. Kebijakan pengelolaan alam harus berpijak pada keseimbangan, keberlanjutan, dan kemaslahatan umat. Negara berkewajiban memastikan tidak ada seorang pun yang kekurangan air, sebagaimana ia wajib memastikan tak seorang pun rakyatnya kelaparan.
Menjaga Air, Menjaga Kehidupan
Air bukan sekadar unsur alam, melainkan simbol kehidupan dan keadilan sosial. Ketika air dikuasai segelintir pihak, maka kehidupan pun perlahan dirampas dari tangan rakyat.
Sudah seharusnya negara hadir menegakkan kedaulatan atas sumber daya air. Sebab, menjaga air bukan hanya menjaga ekosistem, tetapi menjaga keberlanjutan hidup manusia.
Wallahualam bissawab.







