www.jurnalkota.co.id
Oleh: Dinda Fadilah, S.TP
Pemerhati Kebijakan Publik dan Sosial
Kasus penculikan anak kembali mengguncang ruang publik Indonesia. Publik dikejutkan oleh kasus Bilqis, balita berusia empat tahun yang hilang di Makassar dan ditemukan enam hari kemudian di Jambi. Polisi mendalami dugaan adanya tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kasus tersebut. Beberapa bulan sebelumnya, di Sumatera Utara, kepolisian juga mengungkap kasus serupa terhadap seorang anak delapan tahun yang diculik untuk dimintai tebusan dan diancam dijual organnya.
Dua kasus ini menunjukkan bahwa penculikan anak bukan lagi sekadar tindak kriminal individual, melainkan gejala sosial yang semakin kompleks dan mengkhawatirkan.
Pola dan Modus yang Kian Beragam
Dari hasil penyelidikan, kasus Bilqis tidak berdiri sendiri. Polisi menelusuri adanya jaringan dan perantara lintas provinsi. Fenomena ini menegaskan bahwa kejahatan terhadap anak kini sering kali berkelindan dengan motif ekonomi dari eksploitasi hingga perdagangan orang. Modusnya pun makin beragam, mulai dari bujuk rayu, pemanfaatan media sosial, hingga penyamaran.
Sementara itu, di Sumatera Utara, pelaku yang masih memiliki hubungan keluarga dengan korban menuntut tebusan Rp50 juta. Fakta ini memperlihatkan bahwa ancaman bisa datang dari lingkungan terdekat. Kerapuhan sosial dan tekanan ekonomi menjadi pemicu yang mendorong seseorang nekat melanggar batas kemanusiaan.
Dampaknya amat dalam. Korban kehilangan rasa aman, keluarga mengalami trauma, dan masyarakat hidup dalam ketakutan kolektif.
Kemerosotan Nilai dan Hilangnya Ketaqwaan
Kemiskinan kerap disebut sebagai penyebab utama kriminalitas. Namun, akar persoalan sesungguhnya lebih kompleks. Salah satu faktor yang tak bisa diabaikan ialah kemerosotan moral dan hilangnya nilai-nilai ketakwaan.
Dalam pandangan agama, iman yang kuat mestinya menjadi benteng moral agar manusia tidak menempuh jalan keharaman demi memenuhi kebutuhan hidup. Ketika nilai spiritual ini melemah, masyarakat kehilangan kompas moral. Sekularisme dan gaya hidup yang menempatkan kebebasan individu di atas tanggung jawab sosial memperparah keadaan.
Paradigma serba permisif membuat sebagian orang merasa berhak melakukan apa pun demi kepentingan pribadi, tanpa memikirkan dampak sosial. Nilai empati dan rasa hormat terhadap kehidupan manusia pun perlahan terkikis.
Negara yang Abai pada Perlindungan Anak
Ironisnya, negara yang semestinya menjadi pelindung justru belum sepenuhnya hadir. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memang mengatur ancaman pidana tiga hingga lima belas tahun dan denda hingga Rp300 juta. Namun, implementasinya masih jauh dari efektif. Banyak pelaku mendapat hukuman ringan, sementara korban dan keluarga menanggung luka seumur hidup.
Penegakan hukum juga kerap tersandera oleh praktik ketidakadilan. Fenomena “hukum bisa dibeli” menurunkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Ketika keadilan bisa dinegosiasikan, efek jera pun hilang, dan ruang impunitas terbuka lebar.
Selain itu, langkah pencegahan juga lemah. Akses anak terhadap konten negatif di media sosial nyaris tanpa batas. Minimnya literasi digital dan pengawasan keluarga menjadikan anak semakin rentan terhadap eksploitasi dan bujukan pelaku. Dalam situasi seperti ini, negara tampak gagap menghadapi tantangan era digital yang langsung bersinggungan dengan keselamatan anak-anak.
Refleksi atas Peran Negara dan Sistem Kehidupan
Kejahatan terhadap anak seharusnya menjadi momentum refleksi bagi negara untuk menegaskan kembali perannya. Perlindungan warga — khususnya anak-anak — bukan hanya urusan penegakan hukum, tetapi juga tanggung jawab moral dan sosial.
Dalam perspektif Islam, negara ideal memiliki peran menyeluruh sebagai pelindung dan pengayom rakyat. Sistem hukum Islam menekankan keseimbangan antara keadilan bagi korban dan tanggung jawab pelaku, sebagaimana dalam prinsip ta’zir dan qisas yang memberi efek jera sekaligus menjaga ketertiban sosial.
Selain aspek hukum, pemerintah juga wajib memastikan kesejahteraan rakyat terpenuhi. Ketika akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan kebutuhan dasar tersedia secara adil, dorongan melakukan kejahatan karena tekanan ekonomi dapat ditekan secara signifikan.
Penerapan nilai-nilai keadilan dan tanggung jawab sosial berbasis ajaran agama apa pun wujud sistemnya menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang anak-anak bangsa.
Penutup
Kasus penculikan anak tidak semestinya dianggap sebagai fenomena kriminal semata. Ini adalah cermin lemahnya sistem perlindungan sosial dan moral masyarakat. Negara perlu hadir lebih tegas, tidak hanya dengan undang-undang, tetapi juga dengan sistem nilai yang menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama terhadap keselamatan anak.
Anak-anak adalah masa depan bangsa. Melindungi mereka berarti menjaga keberlangsungan nilai kemanusiaan itu sendiri.***







