www.jurnalkota.co.id
Oleh: Santika
Pendidik Generasi
Pondok pesantren selama ini menjadi tempat bagi para santri menimba ilmu agama dan membentuk karakter. Di lembaga pendidikan berbasis keagamaan ini, lahir para calon ulama yang ditempa dengan kedisiplinan, kesederhanaan, dan nilai-nilai keislaman. Suasana religius dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an dan shalawat senantiasa mewarnai kehidupan para santri setiap hari.
Namun, suasana khusyuk itu berubah menjadi duka pada 29 September 2025. Pondok Pesantren Al Khoziny di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ambruk saat para santri bersiap menunaikan ibadah shalat Asar. Bangunan berlantai empat itu roboh seketika dan menimbun puluhan santri di bawah reruntuhan beton.
Suasana di sekitar lokasi berubah mencekam. Lantunan doa dan shalawat berganti tangis para keluarga yang menanti kabar anak-anak mereka. Berdasarkan data sementara, sebanyak 67 orang meninggal dunia dan 104 orang selamat. Dari jumlah korban jiwa, 34 jenazah telah berhasil diidentifikasi dan diserahkan kepada keluarga (Detiknews, 8/10/2025).
Kegagalan Konstruksi dan Minim Pengawasan
Pondok Pesantren Al Khoziny yang berlokasi di Jalan KHR Moh Abbas I/18, Desa Buduran, merupakan salah satu pesantren tertua di Jawa Timur. Selama beberapa tahun terakhir, pesantren ini berkembang pesat dengan berbagai proyek pembangunan, termasuk gedung bertingkat baru yang kemudian ambruk tersebut.
Pakar konstruksi bangunan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mudji Irmawan, menilai, pembangunan gedung tersebut tidak memperhatikan konsep konstruksi bangunan yang aman. “Sambungan antara elemen struktur, seperti balok dan kolom, harus diperhatikan jika membangun lebih dari satu lantai agar konstruksi menjadi kokoh dan kompak,” ujarnya (Tempo.co, 2/10/2025).
Ia menambahkan, lemahnya sambungan antarstruktur membuat bangunan tidak stabil. Ketika ada beban tambahan di lantai atas dan terjadi getaran dinamis, bangunan mudah kolaps. Kondisi ini menunjukkan lemahnya perencanaan serta minimnya pengawasan teknis dalam pembangunan.
Beban Pembangunan di Tangan Masyarakat
Tragedi ini menyoroti kondisi yang lebih dalam: lemahnya peran negara dalam memastikan keamanan dan kualitas fasilitas pendidikan masyarakat. Pembangunan gedung Ponpes Al Khoziny, misalnya, sepenuhnya dibiayai oleh para donatur dan dikerjakan secara swadaya oleh para santri. Minimnya dana dan ketiadaan tenaga ahli membuat risiko keselamatan terabaikan.
Di banyak daerah, pondok pesantren masih bergantung pada kedermawanan masyarakat. Negara cenderung abai dan hanya berperan sebagai regulator tanpa tanggung jawab langsung dalam penyediaan fasilitas pendidikan, terutama untuk lembaga nonformal keagamaan. Padahal, keselamatan peserta didik adalah tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Belajar dari Sistem yang Menjamin Kesejahteraan
Dalam pandangan Islam, negara berperan sebagai ra’in (pengurus rakyat) yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk pendidikan. Sejarah mencatat, pada masa kejayaan Islam, pemerintah mendirikan berbagai lembaga pendidikan dengan fasilitas lengkap, mulai dari asrama, perpustakaan, hingga laboratorium yang semuanya disediakan secara gratis bagi masyarakat.
Pendanaan pendidikan bersumber dari Baitul Mal, yakni lembaga keuangan negara yang mengelola zakat, jizyah, kharaj, serta hasil sumber daya alam. Dana itu dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat tanpa bergantung pada iuran masyarakat.
Model pengelolaan semacam ini menjamin kesetaraan akses pendidikan dan keamanan fasilitasnya. Tak ada kekhawatiran akan kekurangan dana, tenaga ahli, atau standar bangunan. Negara hadir bukan sekadar sebagai pembuat kebijakan, tetapi sebagai pelaksana yang memastikan hak rakyat terpenuhi.
Penutup
Tragedi ambruknya Ponpes Al Khoziny menjadi pengingat pentingnya tanggung jawab negara dalam menjamin keselamatan dan kualitas fasilitas pendidikan, termasuk pesantren. Kemandirian masyarakat perlu didukung oleh regulasi, pendanaan, dan pengawasan yang kuat.
Tanpa itu, setiap niat baik untuk mendidik generasi bangsa bisa berakhir tragis. Tragedi Sidoarjo seharusnya menjadi momentum untuk menata ulang sistem pendidikan dan tata kelola pembangunan berbasis tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.**







