www.jurnalkota.co.id
Oleh: Ain Mawaddah Warohmah, S.Pd
Tutor dan Aktivis Dakwah
Generasi Z dikenal sebagai kelompok yang kritis, adaptif terhadap teknologi, dan aktif bersuara di ruang digital. Melalui media sosial, mereka tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga pelaku perubahan sosial dan politik. Pola konsumsi berita di kalangan generasi ini pun bergeser, mereka lebih tertarik pada isu-isu publik, kebijakan pemerintah, hingga dinamika ekonomi dan politik nasional.
Fenomena ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran politik yang semakin kuat di kalangan anak muda. Namun, kesadaran tersebut juga memunculkan kekhawatiran bagi sebagian pihak yang belum siap menghadapi generasi muda yang kritis dan menuntut perubahan.
Salah satu peristiwa yang memperlihatkan wajah baru generasi Z adalah kasus penetapan 295 anak sebagai tersangka dalam kerusuhan demonstrasi di DPR pada 25–31 Agustus 2025. Peristiwa itu menjadi potret bagaimana ekspresi politik generasi muda kerap disalahartikan sebagai tindakan anarkis. Alih-alih dipahami sebagai bentuk kepedulian terhadap ketimpangan sosial, aksi mereka justru menimbulkan stigma negatif akibat pemberitaan yang tidak berimbang.
Padahal, di balik peristiwa tersebut, ada semangat dan idealisme yang tumbuh. Kesadaran politik generasi Z seharusnya menjadi modal penting untuk membangun masa depan bangsa. Namun, ketika suara mereka dibungkam, potensi itu justru terhambat. Pembentukan opini publik yang menggiring citra negatif terhadap generasi muda mengindikasikan adanya kekhawatiran akan bangkitnya kekuatan baru—kekuatan moral dan politik yang mampu menantang sistem yang ada.
Demokrasi yang selama ini diagungkan sebagai sistem yang menjamin kebebasan berpendapat, pada praktiknya sering kali bersyarat. Ruang kebebasan itu terasa sempit ketika suara kritis diarahkan kepada penguasa. Di sinilah muncul paradoks demokrasi: kebebasan dijunjung tinggi, tetapi dibatasi oleh kepentingan kekuasaan.
Kesadaran politik generasi muda tidak seharusnya dipatahkan melalui kriminalisasi, tetapi diarahkan agar memiliki landasan nilai yang kuat. Dalam perspektif Islam, generasi muda memiliki peran penting sebagai pengoreksi penguasa melalui aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Sistem yang berbasis nilai ilahiah menempatkan generasi muda sebagai agen perubahan sejati, bukan sebagai ancaman bagi stabilitas kekuasaan.
Untuk itu, pendidikan berbasis akidah Islam menjadi pondasi penting dalam membangun karakter generasi Z. Dengan identitas keislaman yang kuat, mereka akan tumbuh menjadi sosok yang berani, berprinsip, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.
Kesadaran politik generasi Z harus dimulai dari kesadaran diri sebagai hamba Tuhan yang memiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat dan lingkungannya. Dari pemahaman ini akan lahir gerakan perubahan yang berorientasi pada keadilan dan kemanusiaan menuju sistem kehidupan yang lebih bermartabat dan berkeadilan.**







