www.jurnalkota.co.id
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen pemerintah menertibkan aktivitas pertambangan yang melanggar aturan. Dari laporan yang diterima, terdapat 1.063 tambang ilegal dengan potensi kerugian negara sedikitnya Rp300 triliun. “Langkah ini penting agar negara tetap memperoleh pendapatan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan,” ujar Presiden, sebagaimana dikutip dari situs Kementerian ESDM (25/8/2025).
Namun, bersamaan dengan upaya penertiban tambang ilegal, pemerintah juga membuka peluang bagi koperasi, organisasi kemasyarakatan, hingga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk mengelola wilayah usaha pertambangan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Pasal 17 ayat (4) huruf a PP tersebut menyebutkan bahwa koperasi, badan usaha kecil dan menengah, serta badan usaha milik ormas diprioritaskan dalam pengelolaan tambang. Selain itu, terdapat sejumlah pasal lain yang mempertegas peran koperasi di sektor minerba. Pasal 26C, misalnya, mengatur verifikasi administratif koperasi oleh Menteri Koperasi; Pasal 26E memberi akses prioritas pengajuan izin melalui sistem Online Single Submission (OSS); dan Pasal 26F menetapkan batas maksimal wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) koperasi hingga 2.500 hektare untuk mineral logam atau batu bara.
Menteri Koperasi dan UKM Ferry Juliantono menyambut positif kebijakan tersebut. Menurut dia, PP 39/2025 memberikan landasan hukum bagi koperasi untuk terlibat langsung dalam pengelolaan tambang rakyat, sekaligus memperluas kontribusinya terhadap perekonomian nasional. “Ini langkah konkret memperkuat peran koperasi sebagai penggerak ekonomi rakyat melalui sektor strategis,” ujarnya.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menambahkan, pemerintah tengah menyiapkan peraturan menteri sebagai aturan teknis pelaksanaan. Permen itu akan mengatur tata cara bagi koperasi, UMKM, ormas, dan organisasi keagamaan untuk memperoleh akses terhadap kegiatan pertambangan, sesuai amanat UU Minerba yang baru.
Bahlil menegaskan, koperasi dan UMKM di luar Jakarta akan menjadi prioritas, terutama di wilayah sekitar tambang, agar manfaat pengelolaan sumber daya alam lebih langsung dirasakan masyarakat setempat.
Pro dan Kontra Regulasi Baru
Seperti lazimnya kebijakan baru, PP 39/2025 juga menuai beragam tanggapan. Peneliti hukum dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhamad Saleh, menilai bahwa keterlibatan koperasi dan UMKM dalam sektor pertambangan perlu dikaji dari aspek tata kelola dan kapasitas kelembagaan.
Menurut Saleh, koperasi dan UMKM belum tentu memiliki kemampuan modal, teknologi, serta sistem pengawasan lingkungan yang memadai. “Risikonya besar jika regulasi longgar. Bisa terjadi penyalahgunaan izin oleh perusahaan besar lewat skema pinjam bendera, bahkan berpotensi membebani negara bila terjadi kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Juru kampanye Jatam, Al Farhat Kasman, menilai industri tambang padat modal dan teknologi tinggi, sehingga koperasi kemungkinan besar akan menggandeng pihak ketiga untuk mengelola lahan yang luasnya mencapai 2.500 hektare.
Tata Kelola Tambang Masih Bermasalah
Kerugian negara yang mencapai Rp300 triliun seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk mengevaluasi tata kelola pertambangan, bukan sekadar memperluas izin kepada pelaku usaha baru. Realitas ini memperlihatkan lemahnya pengawasan dan praktik penyimpangan yang melibatkan banyak pihak, termasuk oknum aparat dan korporasi besar.
Privatisasi tambang dalam bentuk apa pun pada dasarnya berisiko mempersempit akses rakyat terhadap sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama. Jika pengawasan lemah, peluang penyelewengan tetap terbuka, bahkan di bawah payung koperasi. Tujuan kesejahteraan rakyat pun terancam menjadi sekadar slogan, sementara keuntungan hanya berputar di lingkaran sempit pemodal.
Solusi dari Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, sumber daya alam dengan cadangan besar seperti tambang termasuk kategori milik umum yang tidak boleh diprivatisasi. Negara berkewajiban mengelola dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dengan prinsip tersebut, tambang hanya boleh dikelola negara melalui lembaga resmi yang bertanggung jawab penuh atas eksplorasi, teknologi, hingga dampak lingkungan. Hasil pengelolaan disetorkan ke Baitul Mal dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Model ini telah terbukti berjalan selama berabad-abad dalam sejarah pemerintahan Islam, dari masa Rasulullah SAW hingga Khilafah Turki Utsmani. Negara berfungsi sebagai pengurus rakyat (raa’in), bukan sekadar regulator kebijakan ekonomi.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Imam (khalifah) adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Penutup
Kebijakan membuka ruang bagi koperasi dan UMKM dalam sektor tambang memang tampak memberi harapan. Namun tanpa pengawasan ketat, peningkatan kapasitas, dan tata kelola yang transparan, kebijakan ini berpotensi mengulangi kesalahan lama.
Sejahtera tidak cukup dijanjikan melalui regulasi. Ia hanya terwujud bila negara benar-benar berpihak pada rakyat dan mengelola kekayaan alam dengan amanah, adil, serta berlandaskan nilai-nilai moral dan spiritual yang kokoh.**







