Oleh Muzaidah (Aktivis Dakwah Muslimah)
www,jurnalkota.co.id.
Lagi-lagi kabar duka datang dari Medan, seorang anak perempuan berusia tiga tahun, AYP, meregang nyawa bukan karena penyakit, bukan karena bencana, tapi karena dianiaya secara brutal oleh pacar ibunya sendiri. Tubuh kecilnya dipenuhi luka lebam, bahkan kerongkongannya dilaporkan patah. Kisah pilu ini bukan sekadar berita kriminal, tapi cermin kerusakan sosial yang makin mengkhawatirkan.
Ketika anak kecil tak lagi aman bahkan di rumahnya sendiri, maka sudah seharusnya kita bertanya: sistem macam apa yang sedang kita pertahankan hari ini?
Balita AYP asal Medan, Sumatera Utara, tewas diduga akibat dianiaya oleh ZI (27 tahun), pacar ibunya. Polisi mengungkap tubuh korban ditemukan penuh luka lebam dan cedera fatal di bagian leher. Tante korban yang curiga melihat kondisi keponakannya akhirnya melapor ke pihak kepolisian (detiksumut.com, 29/3/2025).
Kasus AYP bukan yang pertama, dan kemungkinan besar bukan yang terakhir. Banyak anak-anak hari ini tumbuh di lingkungan yang tak aman, terutama ketika orang tua, khususnya ibu, menjalin hubungan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Pacar, pasangan, kumpul kebo, atau suami siri menjadi figur yang tidak memiliki tanggung jawab moral maupun hukum terhadap anak. Situasi ini menjadikan anak rentan menjadi korban frustasi, kekerasan, atau pelampiasan emosi orang dewasa yang tak layak menjadi wali.
Ironisnya, dalam sistem saat ini, kasus-kasus seperti ini hanya ditanggapi sebagai sekadar kejahatan individu tanpa menyentuh akar permasalahan yang lebih luas.
Media ramai-ramai memberitakan kejadian ini dengan nada sensasional, tetapi sedikit yang menyoroti mengapa kasus serupa terus berulang. Padahal, jika kita melihat lebih dalam, fakta menunjukkan bahwa pola kekerasan terhadap anak sering terjadi dalam rumah tangga yang tidak stabil. Fenomena ini bukan sekadar masalah individu, melainkan dampak dari sistem sosial dan hukum yang gagal memberikan perlindungan.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), (kpai.go.id, 12/2/2025), menunjukkan bahwa ribuan kasus kekerasan terhadap anak terjadi setiap tahun, dengan mayoritas pelaku berasal dari lingkungan terdekat korban, seperti orang tua, kerabat, dan pasangan orang tua. Dalam banyak kasus, anak-anak menjadi korban karena lemahnya sistem pengawasan serta kurangnya edukasi mengenai hak-hak anak di dalam masyarakat. Ini menunjukkan, bahwa perlindungan anak seharusnya bukan hanya tanggung jawab individu atau keluarga semata, tetapi juga tanggung jawab Negara.
Penegakan hukum yang lemah turut memperparah situasi, banyak pelaku kekerasan terhadap anak hanya dijatuhi hukuman ringan, bahkan dalam beberapa kasus mendapat simpati publik karena dianggap “khilaf.” Ketika keadilan tak ditegakkan dengan tegas, maka pelaku berikutnya tidak akan pernah merasa takut. Hukum kehilangan taringnya, dan anak-anak kembali menjadi korban berikutnya.
Salah satu kontradiksi sistem yang dijalani saat ini adalah bagaimana Negara dan masyarakat cenderung membiarkan budaya pergaulan bebas berkembang, tetapi di sisi lain, mereka juga mengutuk dampak buruk yang dihasilkannya. Di satu sisi, media, industri hiburan, dan sistem pendidikan cenderung menormalisasi gaya hidup bebas, tetapi ketika dampak negatif seperti kekerasan dalam rumah tangga terjadi, masyarakat seolah-olah terkejut dan kebingungan mencari penyebabnya. Ini adalah kontradiksi mendasar yang menunjukkan bahwa sistem yang ada gagal dalam membentuk tatanan sosial yang sehat.
Lebih jauh, Negara hanya bereaksi setelah kasus terjadi, bukan mencegah sejak awal dengan kebijakan yang tepat. Undang-Undang Perlindungan Anak yang ada sering kali tidak dijalankan secara maksimal, dan penanganan korban sering kali tidak berorientasi pada pemulihan psikologis dan sosial anak. Ini menjadi bukti bahwa solusi yang ditawarkan dalam sistem sekuler cenderung bersifat menanggapi, bukan mencegah.
Parahnya lagi, akar persoalan ini tidak pernah disentuh secara serius. Diskusi publik hanya berhenti pada tuntutan hukuman berat atau perbaikan prosedur aduan kekerasan. Padahal, akar dari semua ini adalah budaya sekuler yang membolehkan masyarakat memilih hidup bebas dalam bertindak, sehingga urusan kehidupan tidak lagi diatur oleh agama, akhirnya kacau dan tidak terarah. Selama struktur sosial dan hukum masih memberi ruang pada gaya hidup yang tidak islami, tragedi semacam ini hanya akan berulang dengan wajah dan nama korban yang berbeda.
Islam tidak hanya berbicara soal ibadah, tapi juga membangun peradaban. Dalam sistem Islam, Negara memastikan seluruh interaksi sosial berjalan sesuai aturan, Pergaulan dijaga dengan batasan yang jelas, seperti membolehkan interaksi lawan jenis dalam bidang pendidikan, jual-beli, kesehatan, haji dan umroh, atau hal-hal yang masih dalam kategori sesuai dengan ajaran Agama. Selain itu, Negara akan memfasilitasi setiap keluarga dibina berbasis akidah Islam, dan masyarakat saling amar makruf nahi mungkar untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Anak-anak juga tidak hanya dilindungi dari kekerasan, tetapi juga dibesarkan dalam lingkungan yang sehat, penuh kasih sayang, dan terjaga dari pengaruh gaya hidup liberal.
Allah Swt. berfirman:
“Wahai orang-orang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..” (TQS. At-Tahrim [66]: 6).
Ayat ini menegaskan tanggung jawab individu dan Negara untuk menjaga keluarga dari kehancuran moral dan sosial, termasuk perlindungan terhadap anak-anak.
Negara dalam sistem Islam juga menerapkan sistem hukum yang tegas dan menjerakan, seperti hukuman had atau takzir sesuai tingkat pelanggarannya. Tak ada ruang bagi pelaku kekerasan untuk berlindung di balik celah hukum atau pembenaran “khilaf.”
Pendidikan moral dan akidah akan diajarkan sejak dini, menjadikan setiap individu memiliki rasa takut kepada Allah dan cinta kepada sesama. Inilah jaminan perlindungan sejati dari sistem Islam yang tak bisa diberikan oleh sistem sekuler hari ini.
Inilah yang menjadi fondasi bahwa Islam tidak mentolerir kekerasan dalam bentuk apapun, terlebih terhadap anak-anak yang lemah dan tidak berdaya.
Kematian AYP adalah cambuk keras bagi kita semua. Ia bukan hanya korban kekerasan, tapi korban dari sistem yang gagal menjaga pergaulan, gagal membina keluarga, dan gagal menegakkan keadilan. Rakyat tak bisa terus berharap pada tambal sulam kebijakan. Sudah saatnya kembali kepada sistem Islam secara kafah. Hanya dengan itu, rakyat bisa memastikan tragedi serupa tak akan lagi menjadi berita rutin.
Wallahualam bissawab.