Pendidikan Sekuler dan Krisis Empati pada Generasi Muda

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh Widya Amidyas Senja
Pendidik Generasi

“Tak ada yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri dengan melukai orang lain.” — Saint Ambrose

Gelombang kekerasan yang muncul dari luka-luka tak terlihat kini menjadi sinyal keras bagi dunia pendidikan. Fenomena remaja korban bullying yang kemudian berbalik melakukan tindakan berbahaya menunjukkan bahwa krisis adab dan empati di kalangan generasi muda telah menjelma menjadi bom waktu.

Baru-baru ini, seorang santri di Aceh Besar membakar asrama pesantrennya karena sakit hati setelah diduga menjadi korban perundungan. Dilaporkan Kumparan News (7/11/2025), pelaku mengaku kerap diejek, dilecehkan, dan dikucilkan hingga kehilangan kendali. Aksi itu menimbulkan kerugian besar sekaligus trauma bagi penghuni lainnya.

Peristiwa serupa terjadi di Jakarta. Seorang siswa SMA Negeri 72 diduga membuat ledakan di lingkungan sekolah. Menurut temuan awal yang dikutip CNN Indonesia (7/11/2025), tindakan itu dipicu tekanan sosial akibat bullying. Pelaku dikenal sebagai “anak pendiam” yang sering menjadi bahan ejekan. Ledakan tersebut memicu kepanikan dan membuka kembali diskusi publik tentang efek bullying terhadap kesehatan mental remaja.

Dua kejadian di lokasi berbeda ini memperlihatkan pola yang sama: korban yang terluka kini mulai melukai. Luka batin yang tak tertangani berubah menjadi kemarahan destruktif yang mengancam diri sendiri maupun orang lain. Ini merupakan puncak gunung es dari persoalan lebih besar: generasi yang bukan saja kehilangan kendali diri, tetapi juga kehilangan arah hidup.

Bullying sebagai Gejala Sistemik

Bullying bukanlah kasus insidental. Ia adalah problem sistemik yang mengakar dalam dunia pendidikan Indonesia. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat pembinaan karakter justru menjadi ruang subur munculnya perilaku kejam yang mengikis empati dan adab.

Media sosial memperparah situasi. Ejekan tidak berhenti di lingkungan sekolah, melainkan terbawa dan menyebar di dunia maya. Bahkan, aksi bullying kerap dijadikan konten hiburan, seolah penderitaan orang lain pantas untuk diviralkan. Fenomena ini menunjukkan krisis adab yang kian dalam, ketika empati digantikan oleh keinginan memperoleh perhatian.

Lebih memprihatinkan, sebagian remaja korban bullying mencari pelampiasan melalui konten kekerasan atau tragedi di internet. Beberapa bahkan menirunya tanpa filter moral. Akibatnya, bullying tidak lagi berhenti sebagai luka, tetapi berubah menjadi ledakan amarah sosial.

Akar Masalah: Pendidikan yang Kehilangan Ruh

Akar persoalan ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang cenderung sekuler dan materialistik. Orientasi pendidikan lebih menonjolkan pencapaian akademik dan prestasi ekonomi, sementara nilai moral, spiritual, dan adab hanya menjadi pelengkap simbolik. Padahal, pendidikan sejati tidak hanya mencetak generasi cerdas, tetapi membentuk manusia berkepribadian mulia.

Ketika pendidikan gagal menanamkan nilai adab dan iman, lahirlah generasi yang cerdas tetapi kehilangan kompas moral. Mereka mudah terombang-ambing oleh tren media, rentan kehilangan kontrol emosi, dan tidak siap menghadapi tekanan sosial.

Krisis ini semakin diperburuk oleh lemahnya pembinaan dalam keluarga serta minimnya peran negara dalam menciptakan lingkungan sosial yang aman dan sehat bagi remaja. Masyarakat akhirnya hanya sibuk mengutuk akibat, tetapi tidak menyentuh akar persoalan: hilangnya pendidikan berbasis nilai dan ruhiyah.

Paradigma Pendidikan Islam: Menyentuh Akal dan Jiwa

Islam menawarkan sistem pendidikan yang menyeluruh menajamkan akal sekaligus menjernihkan jiwa. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk syakhshiyyah Islamiyyah (kepribadian Islam), yakni manusia yang berpikir dan bersikap berdasarkan akidah.

Allah Swt berfirman:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)

Artinya, pendidikan tidak hanya berorientasi pada dunia, tetapi membangun kesadaran manusia tentang perannya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi. Guru dalam perspektif Islam bukan hanya penyampai ilmu, tetapi pembimbing akhlak dan karakter.

Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Ahmad)

Oleh karena itu, kurikulum dalam sistem Islam berakar pada aqidah dan menjadikan adab sebagai fondasi seluruh ilmu dari sains, ekonomi, hingga sosial agar pengetahuan selalu diarahkan untuk kemaslahatan umat.

Peran Negara dan Tanggung Jawab Moral

Dalam pandangan Islam, negara memiliki peran penting memastikan pendidikan yang bermutu sekaligus membina moral generasi. Negara wajib menyediakan lingkungan sosial yang melindungi anak dan remaja dari kekerasan, bullying, dan degradasi moral. Negara juga harus menjamin ruang belajar yang aman, beradab, dan tidak terpengaruh arus liberalisme yang mereduksi nilai kemanusiaan.

Saatnya Refleksi: Ke Mana Arah Pendidikan Kita?

Kita perlu bertanya dengan jujur: apakah pendidikan saat ini masih mampu menumbuhkan manusia yang beradab?

Jawabannya hanya bisa ditemukan dengan kembali pada paradigma pendidikan Islam yang menyeluruh sebuah sistem yang menempatkan iman dan akhlak sebagai inti pembentukan generasi. Dengan itulah remaja dapat tumbuh menjadi generasi kuat, berakhlak, dan berdaya guna; bukan korban maupun pelaku dalam lingkaran kekerasan yang mengancam masa depan bangsa.

Wallahu a’lam bishshawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *