Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang Januari-Juli 2023 ada 16 kasus perundungan di satuan pendidikan, dimana empat di antaranya terjadi pada Juli 2023. Dari kasus-kasus yang terjadi, mayoritas kasus terjadi di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) (REPUBLIKA.CO.ID, 5/8/2023).
Catatan terakhir adalah kejadian di Rejang lebong, Bengkulu. Di mana seorang guru olahraga yang menegur peserta didik karena kedapatan merokok, si guru sempat menendang anak yang merokok tersebut, orang tua si anak tidak terima dan membawa ketapel ke sekolah lalu menyerang mata si guru hingga pecah dan mengalami kebutaan permanen.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo , mengatakan kasus perundungan ini bukan hanya terjadi kepada peserta didik sebagai korban atau pelaku, melainkan ada juga pendidik yang menjadi korban atau pelaku. FSGI mendata selama Januari–Juli, jumlah korban perundungan di satuan pendidikan total 43 orang yang terdiri atas 41 peserta didik (95,4%) dan dua guru (4,6%).
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, mempertanyakan pencapaian program pemerintah di bidang pendidikan, khususnya Nawacita berbasis pendidikan karakter yang tertuang di Perpres dan Kepmendikbud RI terkait visi pendidikan karakter. “Buktinya perundungan di kalangan pelajar malah semakin marak terdengar, dan pelakunya merata dari beragam strata sosial, di mana keseriusan pejabat terkait?” ujar Fikri.
Perlu diketahui, di dalam Nawacita berbasis pendidikan karakter terdapat lima nilai karakter utama yang bersumber dari Pancasila, yang menjadi prioritas pengembangan gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK); yaitu religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan kegotongroyongan. Masing-masing nilai tidak berdiri dan berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling berinteraksi satu sama lain, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi.
PPK mendorong sinergi tiga pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga (orang tua), serta komunitas (masyarakat) agar dapat membentuk suatu ekosistem pendidikan. Program ini wajar tak kunjung menemui hasil terbaik, ibarat rumah ia dibangun di atas pondasi pasir yang licin dan rapuh yaitu Pancasila. Sebab, sejatinya Pancasila hanya berisi kumpulan nilai tidak ada peraturan.
Banyak hal yang kontradiktif dalam pelaksanannya, semisal karakter religius, Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, pada faktanya, dalam dunia pendidikan ada larangan pemaksaan mengenakan atribut keagamaan hingga muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang pengaturan penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, serta tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Terutama untuk sekolah negeri dengan alasan lebih majemuk tidak hanya ada pelajar Islam namun juga agama lain, sehingga tak tepat jika ada pengaturan seragam berdasarkan agama tertentu. Meski KPAI menyetujui dan menyayangkan pembatalannya oleh MA, namun sudah bisa menggambarkan bagaimana dunia pendidikan kita, sebab, mencetak generasi taat syariat bagi yang beragama Islam adalah bagian dari pendidikan.
Payung Kebijakan Terus Berganti, Efektifkah?
Bila ditanya apa upaya pemerintah dalam mengatasi maraknya perundungan dan kekerasan di dunia pendidikan? Salah satunya adalah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim resmi meluncurkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP) sebagai Merdeka Belajar Episode ke-25 (tempo.co, 8/8/2023).
Permendikbudristek PPKSP disahkan sebagai payung hukum untuk seluruh warga sekolah atau satuan pendidikan. Peraturan ini lahir untuk secara tegas menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi. Selain itu, untuk membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi mencakup kekerasan dalam bentuk daring, psikis, dan lainnya dengan berperspektif pada korban.
Peraturan ini menggantikan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Selain itu, Permendikbudristek PPKSP juga menghilangkan area ‘abu-abu’ dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual serta diskriminasi dan intoleransi untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.
Selain mengatur tindakan kekerasan, Permendikbudristek ini juga memastikan tidak adanya kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan. “Peraturan yang baru ini juga tegas menyebutkan bahwa tidak boleh ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan, baik dalam bentuk surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain,” ujar Nadiem.
Selain hal-hal tersebut, Permendikbudristek PPKSP juga mengatur mekanisme pencegahan yang dilakukan oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek, serta tata cara penanganan kekerasan yang berpihak pada korban yang mendukung pemulihan.
Satuan pendidikan juga diamanatkan untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) sebagai eksekutor. Nadiem menegaskan, TPPK dan Satuan Tugas perlu dibentuk dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah peraturan ini disahkan, agar kekerasan di satuan pendidikan dapat segera tertangani.
Pergantian payung hukum menandakan hukum lama tidak berguna lagi karena tak bisa menjadi solusi bagi setiap persoalan yang muncul, namun apakah ada jaminan peraturan terbaru ini akan lebih baik? Jika yang terjadi hanya pembaharuan undang-undang terdahulu? Seringnya penguasa berlindung di balik hukum hanya karena alasan ini adalah negara hukum sangatlah lemah, sebab nyatanya, hukum di negeri ini tergantung siapa yang mengatakan. Banyak kasus kriminal terbengkalai bahkan di peti eskan jika menyangkut nama pejabat.
Demokrasi Inisiasi Bullying Kian Parah
Kasus pembunuhan mahasiswa UI oleh seniornya yang terjerat pinjol dan maraknya perundungan di institusi pendidikan mencerminkan rusaknya sistem pendidikan hari ini. Sistem pendidikan hari ini gagal mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Demokrasi kian jelas menginisiasi Bullying Kian parah, sebab asas demokrasi adalah kebebasan, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku dan kebebasan kepemilikan. Semuanya mengacu kepada pengkultusan manusia sebagai segalanya. Pembuat aturan sekaligus, jelas hal yang sangat berbahaya, pada jangka panjang akan memberi kehancuran sebab terus menerus tercipta pertentangan dan perselihan antar manusia terhadap satu maslahat.
Pun, pemimpin yang lahir dari sistem demokrasi bukanlah pemimpin yang peduli pada kesulitan umat, itu hanya terjadi di awal sebelum mereka terpilih, mengumbar janji seolah bakal nyata, pada akhirnya kepentingan asing yang mendapat karpet merah atas kekuasaannya.
Sistem Islam Paripurna Wujudkan Generasi Cemerlang
Sistem Pendidikan Islam sistem terbaik menghasilkan individu berkepribadian Islam. Dalam Islam ada empat cara dalam mencetak generasi cemerlang, pertama sistem pendidikan Islam menekankan bahwa sebaik-baiknya pribadi adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Kedua, kurikulum yang disusun untuk mencetak manusia berkepribadian Islam yakni memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Ketiga, pendidikan adalah hak seluruh rakyat dan negara wajib menyediakan sarana dan prasarananya dengan baik, murah, mudah dan tidak bergantung pada swasta atau pihak asing.
Keempat, pendanaan pendidikan berikut seluruh kebutuhan pokok rakyat selain pendidikan seperti kesehatan dan keamanan dilakukan secara mandiri yaitu dari dana Baitul mal yang berasal dari jizyah, kharaz, fa’i, ghanimah serta pengelolaan SDA. Dan semua tidak bisa diterapkan jika masih bersandar pada sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalisme. Allah SWT berfirman,” Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS al-Maidah:50). Wallahu a’lam bish showab. **







