Proposal Perdamaian, Lagi-Lagi Bukan Solusi yang Menguntungkan bagi Gaza

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh: Arista Yuristania, S.Pt
Aktivis Muslimah

Kelompok perlawanan Palestina, termasuk Hamas, dilaporkan menanggapi proposal perdamaian yang digulirkan Amerika Serikat dan didukung oleh Israel. Rencana 20 poin itu menjanjikan gencatan senjata, pertukaran sandera, penarikan pasukan bertahap, serta pengawasan internasional untuk rekonstruksi dan pemerintahan Gaza. Di atas kertas, agenda seperti itu tampak sebagai jalan keluar yang pragmatis dari krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Namun di balik kemasannya, proposal semacam ini menyimpan sejumlah masalah substantif yang patut dicurigai.

Pertama, paket diplomasi yang datang sebagai “solusi teknokrat” berpotensi melemahkan posisi politik aktor lokal. Menyerahkan tata kelola kepada badan teknokrat yang dibentuk melalui mekanisme yang didominasi pihak eksternal dapat menggeser hak menentukan nasib sendiri warga Gaza. Alih-alih memperkuat kapasitas lokal, skema semacam ini berisiko menciptakan ketergantungan pada donatur dan lembaga internasional dengan agenda tersendiri.

Kedua, narasi rekonstruksi sering dipakai untuk melegitimasi tindakan sebelumnya. Jika proses rekonstruksi dan bantuan disertai syarat politik dan pengawasan yang berat, trauma dan kerusakan infrastruktur yang dialami warga sipil bisa dimanfaatkan untuk membentuk ulang lanskap politik sesuai kepentingan eksternal. Dengan cara itu, legitimasi moral bagi tindakan perang dan blokade sebagian terhapus oleh narasi “pemulihan” yang ia ciptakan.

Ketiga, proposal semacam ini hadir pada momentum ketika dukungan internasional terhadap hak rakyat Palestina sedang menguat. Alih-alih membuka jalan bagi penyelesaian yang adil termasuk pengakuan hak politik dan jaminan keamanan bagi warga Palestina skema yang dikelola dari luar mudah berubah menjadi mekanisme kontrol. Negara-negara kuat dapat memanfaatkan proses itu untuk mengekang bentuk perlawanan politik yang sah dan menyalurkan aspirasi Palestin ke jalur kompromi yang timpang.

Keempat, solusi permanen bagi krisis Gaza membutuhkan pendekatan komprehensif: penghentian pelanggaran HAM, akses kemanusiaan tanpa syarat, proses rekonsiliasi yang melibatkan semua pihak Palestina, serta kerangka politik yang menghormati hak menentukan nasib sendiri. Diplomasi yang efektif harus menyertakan jaminan akuntabilitas atas tindakan masa lalu, perlindungan bagi warga sipil, dan keterlibatan penuh aktor Palestina dalam perumusan masa depan mereka bukan sekadar teknokrasi yang ditetapkan dari luar.

Akhirnya, perdebatan tentang jalan keluar dari konflik ini tidak hanya bersifat geopolitik; ia juga soal etika internasional. Komunitas global berkewajiban memastikan bahwa upaya perdamaian tidak berubah menjadi alat untuk mensterilkan tuntutan keadilan. Jalan menuju penyelesaian yang berkelanjutan mesti berpijak pada penghormatan terhadap hukum internasional, pemulihan hak sipil dan politik, serta program rekonstruksi yang memberdayakan, bukan mendominasi.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *