www.jurnalkota.co.id
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Program Pemagangan Nasional resmi diluncurkan pada 15 Oktober 2025 lalu. Antusiasme perusahaan terbilang tinggi. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), sebanyak 451 perusahaan telah mendaftar sebagai penyelenggara untuk 1.300 posisi magang yang diikuti lebih dari 6.000 calon peserta (kemnaker.go.id, 5/10/2025).
Pada tahap pertama, 20 ribu lulusan baru perguruan tinggi akan menjalani magang selama enam bulan, yakni dari 15 Oktober 2025 hingga 15 April 2026. Gelombang kedua dijadwalkan dibuka November mendatang dengan peningkatan kuota menjadi 80 ribu peserta.
Sekretaris Jenderal Kemnaker, Cris Kuntadi, menjelaskan bahwa Magang Nasional merupakan bagian dari Paket Ekonomi 8+4+5 Tahun 2025 (Quick Win) yang digagas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian atas arahan Presiden Prabowo Subianto dan disetujui DPR. Program ini menyasar lulusan Diploma (D1–D4) dan Sarjana (S1) yang baru lulus maksimal satu tahun terakhir.
Paket Ekonomi 8+4+5 2025 sendiri merupakan program stimulus ekonomi yang terdiri atas delapan program akselerasi, empat program berlanjut ke 2026, dan lima program penyerapan tenaga kerja. Pemerintah mengalokasikan Rp16,23 triliun dari APBN 2025 untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, menjaga daya beli, dan memperluas lapangan kerja.
Peserta Magang Nasional akan menerima uang saku setara upah minimum yang dibayarkan langsung oleh pemerintah melalui Bank Himbara. Selain itu, mereka juga mendapatkan jaminan sosial berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Setiap peserta akan dibimbing oleh mentor dari perusahaan, yang wajib melaporkan perkembangan peserta magang setiap bulan kepada Kemnaker.
Selain program magang, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan penambahan jumlah penerima bantuan langsung tunai (BLT). Sesuai arahan Presiden, penerima BLT akan dilipatgandakan menjadi 35,04 juta keluarga penerima manfaat (KPM) pada Oktober–Desember 2025. Angka ini di luar BLT reguler yang telah disalurkan oleh Kementerian Sosial kepada 20,88 juta KPM melalui Program Keluarga Harapan dan bantuan sembako (antaranews.com, 17/10/2025).
Kebijakan Populis dalam Bingkai Kapitalisme
Program Quick Win diharapkan menjadi jalan cepat bagi pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik semangat percepatan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah stimulus ekonomi berbasis BLT dan magang benar-benar mampu menyentuh akar persoalan ketimpangan dan pengangguran?
Program Magang Nasional, misalnya, digadang-gadang sebagai “jalan ninja” bagi fresh graduate untuk menembus dunia kerja. Namun, syarat maksimal satu tahun setelah kelulusan menutup peluang bagi banyak pencari kerja lainnya. Padahal, per Februari 2025, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang atau 4,76% dari total angkatan kerja—tertinggi di kawasan ASEAN (tempo.id, 16/8/2025).
Kebijakan ini berpotensi memperlebar kesenjangan. Mereka yang tidak lolos seleksi magang tetap menjadi penganggur, sementara biaya hidup terus meningkat. BLT pun bukan solusi jangka panjang. Nominal yang terbatas dan jangka waktu bantuan hanya tiga bulan tidak cukup untuk menopang kebutuhan hidup masyarakat miskin.
Masalah ekonomi Indonesia bersifat struktural, bukan sekadar soal daya beli. Ketergantungan pada kebijakan impor telah menekan industri dalam negeri. Tanpa dukungan terhadap sektor industri lokal dan pertanian, tanpa reformasi pada sistem distribusi dan pengawasan harga, kebijakan populis seperti BLT hanya bersifat sementara—sekadar peredam gejolak sosial.
Di sisi lain, proyek-proyek ambisius seperti kereta cepat, program MBG, atau kenaikan anggaran reses DPR menunjukkan arah kebijakan yang cenderung kapitalistik dan elitis. Ketika anggaran publik tersedot pada program-proyek besar yang tak langsung menyentuh rakyat, keadilan sosial pun semakin menjauh.
Islam dan Rekonstruksi Ekonomi Ilahi
Dalam pandangan Islam, negara berperan sebagai pelayan masyarakat. Negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar setiap individu—pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Imam (Khalifah) adalah penggembala, dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pemenuhan kebutuhan dasar ini dilakukan melalui dua mekanisme. Pertama, secara langsung: negara menyediakan fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, dan sistem keamanan tanpa biaya bagi rakyat. Kedua, secara tidak langsung: negara wajib menyediakan lapangan kerja, pelatihan, serta akses modal bagi warga yang mampu bekerja agar dapat menafkahi keluarganya secara mandiri.
Sistem ekonomi Islam juga menegaskan bahwa kekayaan alam adalah milik umum yang harus dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk segelintir korporasi. Islam menolak praktik riba, monopoli, penimbunan, dan spekulasi harga yang kerap menjerat ekonomi kapitalistik modern.
Selama lebih dari 13 abad, sejarah mencatat kesejahteraan umat manusia ketika sistem Islam diterapkan, mulai dari masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, hingga Kekhilafahan Turki Utsmani.
Oleh karena itu, rekonstruksi ekonomi berbasis nilai-nilai ilahi bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan kebutuhan mendasar bagi bangsa ini untuk keluar dari jerat kapitalisme yang menindas.
Wallahu a’lam bish-shawab.







