Banjir, Longsor dan Salah Kelola Ruang Hidup

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh: Nida Shofia Hasna
Mahasiswa Yogyakarta

Bencana longsor dan banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh pada akhir November lalu kembali menyisakan luka mendalam. Dampaknya bukan sekadar kerugian material, tetapi juga korban jiwa, hilangnya mata pencaharian, serta rusaknya ekosistem yang menopang kehidupan masyarakat.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dilansir Tempo (11/12/2025) mencatat, jumlah korban jiwa akibat bencana tersebut mencapai 990 orang. Selain itu, sebanyak 222 orang dilaporkan hilang, meskipun angka ini mengalami penurunan dibandingkan hari sebelumnya. Korban luka tercatat lebih dari 5.400 orang, sementara ratusan rumah dan fasilitas umum rusak berat.

Peristiwa ini tidak hanya menyita perhatian nasional, tetapi juga masyarakat global. Banjir yang terjadi tidak sekadar membawa luapan air, melainkan juga gelondongan kayu berukuran besar yang menghantam permukiman warga. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa bencana tersebut bukan semata-mata akibat faktor alam.

Pemerhati kebijakan publik, Maiyesni Kusiar, menilai banjir bandang yang terjadi merupakan konsekuensi dari kesalahan pengelolaan ruang hidup yang bersifat struktural, sistemis, dan berulang. Pandangan ini sejalan dengan berbagai analisis ekologi yang ramai dibahas di media sosial. Curah hujan yang tinggi memang menjadi pemicu, namun kerusakan lingkungan terutama deforestasi menjadi faktor utama yang memperparah dampak bencana. Ratusan hektar lahan kehilangan daya serap air akibat pembukaan hutan secara masif.

Dengan demikian, banjir dan longsor dapat dipahami sebagai akumulasi dari kejahatan lingkungan yang berlangsung lama dan kerap dilegitimasi melalui kebijakan negara. Pemberian konsesi lahan, obral izin perkebunan sawit, pertambangan terbuka, serta berbagai proyek ekstraktif lainnya menunjukkan bagaimana negara membuka jalan bagi eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi.

Situasi ini sulit dilepaskan dari sistem kapitalisme yang menempatkan alam sebagai komoditas ekonomi. Relasi erat antara penguasa dan pengusaha membuat kepentingan lingkungan dan keselamatan rakyat sering kali terpinggirkan. Tidak mengherankan jika penanganan bencana kerap terkesan lamban dan tidak sebanding dengan skala kerusakan yang terjadi, bahkan kalah sigap dibandingkan respons negara lain yang lebih cepat menawarkan bantuan kemanusiaan.

Dalam kerangka sistem ini, alam dipandang sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai amanah yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang. Padahal, kerusakan lingkungan yang dibiarkan hari ini akan kembali menghantam manusia dalam bentuk bencana yang berulang.

Islam menawarkan paradigma yang berbeda dalam memandang alam dan pembangunan. Dalam ajaran Islam, manusia diposisikan sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan ciptaan Allah. Negara memiliki kewajiban mengatur seluruh urusan rakyat, termasuk pengelolaan kepemilikan umum seperti hutan, perairan, dan sumber daya tambang, agar dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan bersama.

Pengelolaan wilayah dilakukan sesuai fungsi alaminya, bukan semata berdasarkan kepentingan ekonomi jangka pendek. Negara juga dituntut hadir secara cepat, menyeluruh, dan manusiawi dalam upaya pencegahan serta penanggulangan bencana, dengan mengerahkan seluruh sumber daya demi melindungi rakyat.

Bencana banjir dan longsor seharusnya menjadi momentum refleksi bersama. Tanpa perubahan cara pandang dan tata kelola ruang hidup yang adil serta berkelanjutan, tragedi serupa hanya akan terus berulang dengan korban yang semakin besar.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *