Bendera One Piece, Simbol Perlawanan atau Cermin Luka Sosial Bangsa?

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh: Zidna Niswata Karima
Mahasiswa Yogyakarta

Fenomena pengibaran bendera bajak laut One Piece oleh sopir truk dan kemudian ditiru berbagai kalangan menjelang HUT ke-80 RI menimbulkan polemik. Pemerintah merespons dengan nada curiga, bahkan ada pejabat yang menyebutnya indikasi makar. Sementara itu, akademisi dan pengamat politik menilai aksi ini sebatas ekspresi sosial, simbol perlawanan damai terhadap ketidakadilan.

Pertanyaannya, apakah bendera bergambar tengkorak bertopi jerami ini ancaman bagi negara, atau justru cermin kondisi bangsa yang masih jauh dari cita-cita kemerdekaan?

Ekspresi Kekecewaan

Dalam kisah One Piece, bajak laut tidak hanya digambarkan sebagai perampok laut, tetapi juga sebagai pihak yang berani menentang Pemerintah Dunia yang korup dan tiranik. Tengkorak bertopi jerami menjadi lambang kebebasan sekaligus perlawanan terhadap penindasan.

Tak mengherankan jika sopir truk dan sebagian masyarakat merasa dekat dengan simbol tersebut. Aturan ODOL menekan pengemudi kecil, sementara perusahaan besar lolos dari jeratan hukum. Rakyat miskin kian terhimpit harga kebutuhan pokok, akses pendidikan dan kesehatan yang terbatas, serta minimnya jaminan kerja.

Di sisi lain, kekayaan alam bangsa lebih banyak dikuasai oligarki. Regulasi berpihak pada pemodal, sementara rakyat sekitar tambang menanggung kerusakan lingkungan dan konflik agraria yang tak berkesudahan. Dalam situasi ini, penggunaan bendera One Piece bisa dipahami sebagai bahasa simbolik untuk menyuarakan kekecewaan.

Ketidakadilan yang Sistemik

Harapan bahwa pergantian rezim atau lahirnya undang-undang baru mampu menghadirkan keadilan belum terbukti. Skandal korupsi bernilai ratusan triliun sering berakhir dengan hukuman ringan, sedangkan rakyat kecil yang sekadar mengambil kayu di hutan bisa diancam penjara bertahun-tahun. Pemblokiran rekening massal dengan alasan administratif juga memperlihatkan lemahnya perlindungan terhadap warga.

Fenomena ini bukan semata kelalaian, melainkan konsekuensi dari sistem kapitalisme yang menempatkan hukum di bawah kendali pemilik modal. Demokrasi yang dijanjikan sebagai “kedaulatan rakyat” pada praktiknya sering hanya menguntungkan elite.
World Inequality Report 2022 mencatat, 50 persen rakyat Indonesia hanya menguasai kurang dari 5 persen kekayaan nasional, sementara segelintir orang hidup dalam limpahan harta. Jurang ketimpangan ini menjadi potret nyata ketidakadilan yang dilembagakan.

Simbol dan Batasannya

Menjadikan bendera One Piece sebagai ikon perjuangan memang punya daya tarik, tetapi tetap ada keterbatasan. Simbol itu lahir dari peradaban sekuler yang menjunjung kebebasan mutlak. Padahal, kebebasan tanpa aturan justru bisa melahirkan ketidakadilan baru, ketika yang kuat menindas yang lemah.

Bagi umat Islam, simbol perjuangan tak bisa dilepaskan dari nilai. Islam sendiri telah memiliki paradigma dan sistem yang lebih komprehensif. Ia tidak hanya memberi kritik, melainkan juga menawarkan solusi.

Islam sebagai Jalan Perubahan

Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan sistem hidup yang mengatur ibadah, ekonomi, politik, hingga sosial budaya. Prinsip dasarnya, hukum berada di tangan Allah, bukan manusia.

Dalam Islam, semua pihak rakyat maupun pemimpin berada di bawah hukum yang sama. Kritik terhadap penguasa bukan dianggap makar, melainkan bagian dari amar makruf nahi mungkar. Umar bin Khaththab ra. bahkan pernah berkata, “Barang siapa melihatku bengkok, luruskanlah.”

Dengan prinsip ini, keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Kekayaan alam dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir oligarki. Pemimpin diposisikan sebagai pengurus umat, bukan pelayan modal.

Penutup

Bendera One Piece yang berkibar di jalanan mungkin hanya simbol. Namun ia membuka mata bahwa ada luka sosial yang dalam. Rakyat bersuara bukan karena benci negeri ini, melainkan karena cinta dan tak rela melihat bangsa terus dikuasai ketidakadilan.

Meski demikian, simbol fiksi tentu tidak cukup untuk membawa perubahan. Islam menawarkan jalan yang lebih hakiki: menegakkan keadilan dengan sistem yang bersumber dari syariat. Dengan itu, kemerdekaan sejati bukan hanya milik segelintir elit, tetapi bisa dirasakan seluruh rakyat.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *