Kritik Terhadap UU Omnibus Law Kesehatan 2023

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.online

Oleh: Zhuhriana Putri, S.Farm (Mahasiswa Apoteker USU)

Undang-Undang Kesehatan resmi disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 kemarin. Setelah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia memutuskan Rancangan Undang-undang Kesehatan masuk ke dalam program nasional pada November 2022, penyusunannya bak berjalan di lorong gelap. Minimnya keterlibatan masyarakat dan organisasi profesi dalam pembuatan UU.

Adanya kecenderungan DPR dan pemerintah yang menganggap perumusan UU ini hanyalah urusan mereka. Bahkan ketika RUU ini diperbincangkan, badan legislasi mengatakan belum ada naskah akademik yang padahal merupakan tahap paling awal pada penyusunan RUU. Draft yang beredar di masyarakat pun bukan dari pihak dewan. Belakangan, tersiar kabar badan legislasi segera mengesahkan draft rancangan dan mengirimkannya ke pemerintah.

Pertanyaannya, seberapa urgentkah Undang-undang kesehatan ini? Apakah UU omnibus law kesehatan ini sangat dibutuhkan di dunia kesehatan? Realitanya, tidak ada kebutuhan mendesak yang mengharuskan disahkannya Undang-undang ini. Pengesahan UU ini terkesan buru-buru seperti ada kepentingan yang sedang dikejar oleh pemerintah.

Menurut Iqbal Mochtar, pengurus PB IDI dan PP IAKMI, semestinya DPR melakukan komunikasi intensif dengan stakeholder terkait. Mesti ada diskusi ilmiah dan penjelasan rasional mengapa UU yang eksis perlu dicabut, diganti atau disinergiskan. Apakah ada kontradiksi serius antar UU tersebut? Mesti ada tinjauan fisolosofis, yuridis, sosial dan kesehatan, yang terang benderang terkait urgensi UU omnibus. Selain itu, keterlibatan masyarakat dan organisasi profesi harus dijalin erat dalam pembuatan UU. Partisipasi sudah harus dibangun bahkan ketika usulan inisiasi baru muncul. Pembentukan UU mesti memenuhi sejumlah azas, diantaranya kejelasan tujuan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. Bila azas ini tidak terpenuhi, UU akan menjadi cacat dan berpotensi mandek ditengah jalan.

Pada akhirnya pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Omnibus Law Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 menimbulkan kontra terutama di kalangan tenaga kesehatan. Salah satu permasalahan yang menjadi sorotan bagi tenaga kesehatan dalam UU Kesehatan adalah kemudahan pemberian izin kepada tenaga kesehatan asing. Dibalik UU ini tercium aroma keberpihakan pemerintah kepada asing dengan memberikan kemudahan akses bagi TKWNA di Indonesia.

Selain itu, UU kesehatan ini semakin menguatkan orientasi dari Health Care menjadi Health Industry. Dengan dihapuskannya Mandatory Spending (belanja atau pengeluaran negara yang diatur UU) anggaran kesehatan, pemerintah akan semakin berlepas tangan dari menjalankan tanggung jawabnya dalam menjamin kesehatan rakyat. Peran pemerintah makin minim seolah mempertegas fungsi pemerintahan hanya sebagai regulator bagi kepentingan korporasi. Akhirnya pelayanan kesehatan indonesia akan membuka kran sebesar-besarnya untuk investasi asing masuk demi mendapatkan anggaran yang memadai.

Penghapusan Mandatory Spending tidaklah tepat untuk menjadi solusi karena tidak mampu menyelesaikan permasalahan utama yakni inefisiensi penyerapan anggaran, menghilangkan kepastian hukum bagi rakyat untuk memastikan pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, dan dalam jangka panjang beresiko akan memperburuk luaran kesehatan dan mengganggu ketahanan nasional.

Sedangkan sebelumnya, di dalam UU No. 9 Tahun 2009 ketika masih adanya Mandatory Spending dimana pemerintah berkomitmen untuk memenuhi alokasi anggaran kesehatan sebesar 5% dari belanja negara, dalam realitanya anggaran kesehatan Indonesia belum mencapai 5%. Anggaran kesehatan Indonesia pada tahun 2017 hanya sebesar 4,6%, tahun 2018 sebesar 4,9%, tahun 2019 sebesar 4,9%, dan baru mencapai 6,6% di tahun 2020 dikarenakan kondisi pandemi Covid. Ini pun terhitung masih sangat minim untuk kesehatan yang menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap rakyat. Dengan adanya ketetapan di dalam UU saja anggaran kesehatan Indonesia masih sangat minim apalagi dengan dihapuskannya dari UU. Sedangkan WHO menetapkan pemerintah setidaknya mengalokasikan anggaran kesehatan seminimal-minimalnya 5% dari anggaran belanja negara. Dalam UU kesehatan terbaru juga memberikan akses masuk investasi asing di sektor kesehatan. Rumah sakit ternama seperti Mayo Clinic di AS atau Mount Elizabet di Singapura diharapkan mendirikan cabang di Indonesia. Sehingga jumlah tenaga spesialis akan bertambah. Permasalahannya apakah masyarakat akan mampu mengaksesnya ?

Inilah realita kebijakan pemerintah di sistem kapitalisme. Undang-undang ditetapkan bukan untuk menjamin pelayanan kesehatan masyarakat namun untuk menjamin kepentingan asing. Ketika Negara kita mengadopsi sistem kehidupan yang berasal dari dunia barat maka akan tentu hanya kepentingan barat yang berkuasa. Pemerintah akan lebih mengedepankan kepentingan para investor dan pemilik modal dari asing untuk menanamkan investasinya. Kesehatan bukan lagi menjadi tanggung jawab namun menjadi ladang bisnis bagi negara.

Tidak ada harapan bagi bangsa ini dengan merubah UU jika sistem yang digunakan masih sistem kapitalisme. Karena akar permasalahan kesehatan di Indonesia adalah karena diterapkannya sistem kehidupan kapitalisme yang memiliki asas kepentingan semata. Bukan kepentingan rakyat namun kepentingan konglomerat.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *