www.jurnalkota.co.id
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Pendidikan sebagai soko guru peradaban, di negeri ini nyatanya tidak sefokus negara lain, ada saja kendala yang dihadapi namun upaya pemerintah ala kadarnya. Untuk Kartu Indonesia Pintar Kuliah atau KIP Kuliah misalnya, dimana program ini dimaksudkan sebagai bantuan untuk biaya kuliah dan biaya hidup untuk mahasiswa D3, D4, dan S1 nyatanya, tidak semua calon mahasiswa bisa mendaftar KIP Kuliah 2025.
Hanya ada tujuh kategori calon mahasiswa yang bisa mendaftar bantuan ini. Lima dari tujuh syarat itu adalah, pertama, mahasiswa pemilik Kartu Indonesia Pintar (KIP) Pendidikan Menengah. Kedua, mahasiswa dari keluarga yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Ketiga, mahasiswa dari keluarga peserta Program Keluarga Harapan (PKH). Keempat, mahasiswa dari keluarga pemegang Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Kelima, masuk dalam kelompok masyarakat miskin/rentan miskin maksimal pada desil 3 (tiga) Data Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (PPKE) yang ditetapkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (kompas.com, 10-1-2025).
Diadakan program KIP Kuliah adalah agar calon mahasiswa dari keluarga miskin atau rentan tetap bisa kuliah pada Program Studi Unggulan di PTN maupun PTS. Jika serius, tentulah mekanisme pembiayaan pendidikan dasar hingga tinggi berada dalam jaminan negara. Sungguh mengenaskan, para calon mahasiswa ini harus benar-benar menunjukkan bukti kemiskinan mereka baru mendapat perhatian.
Tak jauh beda dengan nasib mahasiswa, para dosen juga terpaksa gigit jari. Awal tahun lalu sejumlah dosen yang tergabung dalam Aliansi Dosen ASN Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) Seluruh Indonesia (ADAKSI) memprotes belum dibayarnya Tunjangan Kinerja (Tukin) mereka (kompas.com, 7-1-2025).
Yang mereka tuntut adalah keadilan, sejak menerima SK sebagai ASN, pegawai lain di kementrian yang sama sudah mendapatkan tukin. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Koordinator Aksi, Anggun Gunawan. Dan, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jendral Kemdikti Saintek Prof. Togar M Simatupang memastikan pemerintah tidak akan mencairkan tukin tahun 2025 ini (kompas.com, 3-1-2025).
Keputusan ini karena ada perubahan nomenklaturdari kementerian pendidikan sebanyak dua kali hingga terakhir adalah kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Kapitalisasi Pendidikan Sengsarakan Guru dan Siswa
Kebijakan menghentikan Tukin bagi para dosen hanya karena perubahan nomenklatur dan ketiadaan anggaran memang sangat pedih. Mengingat dosen, sama seperti guru yang lain adalah tenaga pengajar yang mencurahkan keilmuan demi kecerdasan dan kecakapan generasi.
Jika bukan negara yang memperhatikan lantas siapa lagi? Tak bisa dinafikan, tenaga pendidikan pun manusia biasa yang ingin sejahtera. Kebijakan ini menunjukkan minimnya perhatian negara pada pendidikan dan kerja keras para pendidik. Apalagi dalam sistem kapitalisme saat ini, beban kehidupan sangat berat karena minimnya peran negara dalam mengurus rakyat.
Kebutuhan pokok yang menyangkut sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan pun pendidikan sangatlah mahal, tidak setiap individu masyarakat bisa mengakses dengan mudah termasuk para dosen dan guru. Kebutuhan sama, meski gaji UMR namun harga-harga kebutuhan di atas juga tak murah.
Bak efek domino, tidak hanya dosen yang mengalami kesulitan karena kebijakan yang tidak tepat. Mahasiswa juga mengalami hal yang sama banyak yang kesulitan mengakses beasiswa karena ketatnya syarat yang ditetapkan penerima KIP Kuliah 2025. Padahal mereka sama-sama berhak menerima pendidikan sebagaimana mahasiswa yang kebetulan berasal dari keluarga kaya.
Dengan pendidikan yang baik, mereka sama-sama berpotensi bisa membangun negeri dengan baik. Dan bukankah mereka yang disebut sebagai generasi penerus? Merekalah yang bakal melanjutkan estafet kehidupan. Jika buruk dasar pendidikan yang mereka terima akankah Indonesia emas 20245 akan kita raih sesuai target?
Ada banyak mahasiswa yang sebenarnya membutuhkan beasiswa karena ketidakmampuan finansial, namun terkendala dengan aturan-aturan yang ditetapkan. Kapitalisasi kebijakan memang sangat tidak manusiawi, hubungan negara dan rakyatnya hanya berdasar untung dan rugi. Padahal Rasulullah Saw. bersabda, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sedangkan dia dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Islam Wujudkan Kesejahteraan Hakiki
Islam sebagai agama yang sempurna, tidak hanya mengatur akidah dan ibadah bagi pemeluknya tapi juga mengatur semua urusan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan syariat, sebab manusia adalah makhluk lemah dan terbatas, akan ada banyak perselisihan bahkan pertentangan jika manusia dibiarkan membuat aturan hidup.
Pendidik, termasuk dosen dalam. Islam adalah mereka yang mengemban amanah khusus yaitu membentuk syakhsiyah (kepribadian) Islam generasi. Mereka adalah sosok penting dalam menyiapkan generasi pembangun peradaban. Dari merekalah kualitas generasi kita akan ditentukan.
Islam sangat memperhatikan kualitas hidup guru, dengan memberikan jaminan kehidupan kepada para pendidik, dan anggarannya masuk dalam pembiayaan pendidikan Islam. Tak ada pembagian guru ASN, swasta atau honorer. Setiap pendidik adalah pegawai negara, dimana Islam mensyariatkan memberikan gaji yang sangat besar sebagai bentuk penghargaan atas besarnya tanggung jawab mereka, sebagaimana pada masa kekhilafahan.
Seorang guru, di masa Khalifah Umar bin Khatab mendapatkan gaji guru atau pengajar sebesar sebanyak 15 dinar setiap bulan. Satu dinar syariat setara dengan 4,25 gram emas. Jika 1 dinar pada hari ini setara dengan Rp 2.258.000. Artinya, pada masa khalifah Umar, gaji guru mencapai Rp 33.870.000. Sangat jauh jika dibandingkan dengan gaji guru hari ini yang berkisaran pada Rp 2 juta.
Dan menariknya, Dinar yang terbuat dari emas sangat kecil kemungkinan mengalami inflasi. Nilai zatnya tetap tinggi meski ribuan tahun setelah masa Kekhilafahan Umar bin Khatab dan para Khalifah selanjutnya.
Kondisi ini sekaligus mampu menjelaskan mengapa ketika Islam memimpin, dunia bersinar, puncak keilmuan memancar dan menyinari peradaban gemilang. Tak terhitung kontribusi keKhilafahan Islam terhadap pendidikan, kesehatan, sains dan teknologi yang hingga hari ini masih menjadi acuan keilmuan tak tertandingi.
Jaminan kesejahteraan yang diberikan Khilafah, akan membuat para pendidik fokus berkarya, mengembangkan keilmuannya yang bermanfaat untuk umat tanpa perlu terbebani urusan gaji yang tidak mencukupi kebutuhan hingga mencari pekerjaan sampingan. Bahkan tak akan ada guru yang seumur hidupnya berstatus honorer dengan gaji seiklasnya.
Islam juga menyediakan layanan pendidikan berkualitas gratis pada semua warga negaranya, baik kaya maupun miskin, hingga pendidikan tinggi. Negara mampu menyediakan layanan pendidikan gratis karena memiliki sumber pemasukan yang beragam dan besar. Baitulmal adalah skema pendapatan negara berdasarkan syariat.
Terdiri dari harta pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang, minyak, kekayaan hutan, laut dan sebagainya , harta kepemilikan negara berupa fa’i, jizyah, kharaj dan lainnya dan harta zakat yang hanya boleh dibagikan kepada delapan asnaf dalam Al-qur’an.
Negara disini benar-benar berperan sebagai raa’in (pengurus) yang akan selalu melayani kebutuhan rakyat sesuai dengan tuntunan syariat. Sebagaimana yang dimaksud Rasulullah dalam hadis berikut,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Wallahualam bissawab. (Rel)












