RUU Perampasan Aset, Bisakah Korupsi Direset?

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.online

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Arsul Sani mengatakan, pihaknya menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana. “Jadi kalau ditanya posisi saya atau (mewakili) Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), maka kami setuju ada Undang-undang (UU) (Perampasan Aset Tindak Pidana) ini ke depannya,” ujarnya (Kompas.com, Sabtu,1/4/2023).

Menurut Arsul, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana diperlukan agar proses pengembalian kerugian negara bisa di maksimalisasi lebih baik dan lebih cepat. Pasalnya, kata dia, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tidak hanya terkait dengan tindak pidana korupsi (tipikor) saja, tetapi bisa juga dimanfaatkan untuk mengembalikan kerugian negara dalam tindak kriminal lainnya. Seperti tindak pidana narkotika, pajak, kepabeanan dan cukai, lingkungan hidup, illegal logging, hingga terorisme.

Mampukah UU Perampasan Aset Mencegah Korupsi?

RUU Perampasan Aset atau yang dikenal dengan istilah asset recovery merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Melawan Korupsi. Indonesia sendiri telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Namun, hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.

RUU Perampasan Aset muncul ke permukaan dan menjadi viral, setelah beredar video rapat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Mahmodin (MD) dengan Komisi III DPR saat membahas transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp 349 triliun. Mahfud memohon secara khusus terkait persetujuan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Dan yang kemudian menjadi polemik adalah jawaban langsung Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wiryanto atau Bambang Pacul yang mengatakan pengesahan dua RUU tersebut sulit dilakukan. Sebab menurutnya, para anggota di Komisi III DPR akan siap jika sudah mendapat perintah dari ketua umum (ketum) partai politik (parpol) masing-masing. Betapa mencengangkan, pernyataan ini , sekaligus menjadi tanda tanya besar, lantas, kewenangan DPR sebagai wakil rakyat dimana? Korupsi bukan lagi di angka ratusan juta, tapi sudah milyaran dan pelakunya mayoritas para pejabat itu sendiri yang notabene pemegang kekuasaan di negeri ini.

Wakil Ketua Umum (Waketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP, Arsul Sani mengatakan pihak yang selalu menyalahkan DPR dan mengatakan DPR menolak RUU ini sesungguhnya tidak mengerti duduk soal situasi sebenarnya. Sebab, RUU Perampasan Aset disepakati sebagai RUU inisiatif pemerintah. Artinya, kata dia, pihak yang harus menyiapkan naskah akademik dan draft RUU tersebut adalah pemerintah. Posisi DPR menunggu (draft RUU) itu dan kemudian nantinya kedua dokumen disampaikan kepada kami. Peran DPR di sini adalah membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Asrul mengatakan bahwa pihaknya tidak menolak pengesahan RUU Perampasan Aset berdasarkan alur penyiapan hingga kesepakatan dalam draft RUU tersebut. “Jadi apakah RUU ini bisa dibahas atau tidak? Posisi DPR itu menunggu pemerintah. Dari alur ini, sangat tidak betul kalau DPR dikatakan menolak RUU tersebut,” ujar Arsul.

Jika demikian, artinya memang RUU Perampasan Aset ini akan bernasib sama dengan RUU sebelumnya, yaitu harus melalui perjalanan panjang nan alot untuk kemudian menjadi UU. Kecuali jika ada kepentingan pihak tertentu yang ingin “ memancing di air keruh” maka dengan sigap pemerintah akan membuatkan PPnya. Masihkah kita berharap pada kinerja yang demikian? Apakah memang inilah yang kita harapkan saat memilih mereka untuk duduk di kursi parlemen dan menjalankan fungsi perwakilan rakyat?

Korupsi Subur Akibat Lemahnya sistem

Korupsi di negeri ini bak gerbong kereta api, daftarnya panjang, baik nama maupun modus operandi saat mereka melakukan korupsi, satu persatu nama pejabat negeri ini sudah bisa dipastikan akan menjadi pesakitan berseragam oranye dengan status tahanan KPK. Pegiat antikorupsi dari PUKAT UGM Zaenur Rohman menilai aksi korupsi yang dilakukan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni Ben Bahat misalnya, bukanlah modus baru. Zaenur menilai, modus yang dilakukan pasangan suami istri itu kerap dilakukan pejabat lain dengan menyalahgunakan wewenangnya. “Ini modus lama politisi di daerah menggunakan kewenangannya sebagai pejabat publik, sebagai kepala daerah untuk mengumpulkan dana politik dengan korupsi ya,” kata Zaenur. Modus korupsi yang paling sering dilakukan pejabat adalah penjualan perizinan, menerima suap atau gratifikasi pada pengadaan barang dan jasa, pengisian jabatan pegawai daerah hingga korupsi anggaran (tirto.id, 29/3/2023).

Kasus Kapuas , menurut Zaenur, tidak lepas dari masalah high cost politic. Modus ini, lazim dilakukan kepala daerah korup yang ingin maju kontestasi pemilu maupun pemilihan kepala daerah. “Ini Kasus yang sudah lama dan memang penyakitnya ini ya memang karena high cost politic, money politic. “Siapapun yang melakukan money politic itu harus didiskualifikasi dari kontestasi pemilihan, baik untuk pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah dan ini hampir tidak pernah dilakukan karena memang instrumen pengawasan kita sangat lemah, Bawaslu dengan perangkat aturan yang dibentuk oleh DPR dan pemerintah itu semuanya sangat lemah,” kata Zaenur.

Lambatnya respon negeri ini terkait payung hukum guna memberantas korupsi, meski ndonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006 menunjukkan betapa lemahnya sistem yang mengatur urusan masyarakat. Hal yang merugikan bahkan sangat zalim dibiarkan berlarut-larut, Seolah disengaja untuk mendapatkan manfaat bagi segelintir orang mendapatkan keuntungan. Mirisnya Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas memeluk agama Islam yang jelas dalam agamanya melarang segala bentuk korupsi, gratifikasi, suap, kolusi, nepotisme dan lainnya. Mengapa demikian? Jawabnya karena kita secara faktual adalah negara sekuler, memisahkan urusan agama dalam kehidupan bahkan bernegara.

Bahkan dengan melihat gurita kasus korupsi akan terlihat pula kuatnya sekulerisme merasuki negara ini, lantas muncul pertanyaan lagi, apakah pengesahan RUU Perampasan aset ini mampu mencegah korupsi ? Jelas tidak! Kapitalisme justru makin menyuburkan tindak korupsi, hal yang demikian adalah “halal” dalam pandangan para pengemban kapitalisme. Sebab, prinsip kapitalisme adalah manfaat, sepanjang sesuatu itu mendatangkan manfaat maka meski diharamkan tetap saja akan ditempuh. Kemudian berkelindan indah dengan sistem politik pemilihan pemimpin di negara ini, demokrasi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa jika seseorang mengajukan dirinya ke bursa pemilihan pemimpin akan melahirkan sejumlah konsekwensi, sama saja apakah berangkat secara independen maupun diusung partai hingga koalisi partai, tetap kebutuhan biayanya tinggi. Tak ada seorangpun yang mampu menanggungnya sendiri, sebab bukan berbicara seratus dua ratus rupiah, melainkan milyaran rupiah, di sinilah muncul celah pagi pelaku korupsi untuk mulai “menggali” modal, dan berujung pada kerjasama politik atau balas Budi politik.

Modal itu berasal dari pengusaha atau para kapital, dari harta yang mereka gelontorkan tentulah tak ingin kembali dalam keadaan utuh, tapi berkembang, sebab di mata mereka biaya untuk para calon pemegang pimpinan itu adalah investasi yang wajib dikembangkan. Yang intinya harus untung, tidak boleh buntung. Baik berupa proyek ataupun kebijakan. Telah tampak jelas, kelemahan kapitalisme, yang memunculkan politik transaksional. Lantas, adakah solusi hakiki keluar dari panjangnya daftar korupsi?

Korupsi Bisa Direset, Hanya dengan Islam

Jawabnya adalah Islam, siapapun tidak bisa menafikan jika Islam, mundur ke masa mana pun telah secara gemilang menunjukan kepada dunia sebuah peradaban cemerlang yang lahir dari landasan akidah. Sebab memang Islam adalah ideologi, akidah dan peraturan, pandangan hidup sekahligus pemecah problematika umat. Islam memiliki berbagai mekanisme efektif untuk mencegah korupsi, mulai dari penanaman akidah yang kuat hingga sistem sanksi yang tegas.

Korupsi tak luput dari pengaruh mental dan juga ketidaksejahteraan rakyat. Mental hedonis, ingin hidup enak meski dengan cara yang haram. Sementara sistem yang digunakan negara benar-benar hanya mampu menyajikan kepedihan, kesengsaraan dan kemelaratan yang bertambah-tambah. Maka, Islam pertama-tama akan menjamin kesejahteraan itu terwujud dengan cara langsung dan tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan memberikan bantuan, subsidi kepada siapa saja yang membutuhkan. Sedang tidak langsung adalah dengan membuka lapangan pekerjaan, memberikan modal bergerak maupun tidak bergerak dan pelatihan.

Dalam Islam, ada harta kekayaan yang berstatus kepemilikan umum dan negara, berupa kekayaan hutan, laut, tambang, mineral, minyak bumi dan lain sebagainya yang dari sifatnya merupakan hak seluruh manusia. Sehingga negara sebagai wakil rakyat menjadi pihak yang mengelola, seratus persen tanpa mengundang investor bahkan menjual kepada mereka dengan alasan kerjasama, investasi, hibah dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah Saw, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Tak hanya itu, kedua, negara adalah penjamin seluruh kebutuhan pokok rakyat, yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Para kepala keluarga, pemimpin sebuah usaha dan yang pada mereka ada tanggungan menafkahi tidak dibebani dengan biaya air, listrik, kesehatan, pendidikan hingga pajak. Biaya hidup yang tinggi itu hanya ada dalam sistem kapitalisme, dalam Islam, negara mendapatkan dana dari hasil pengelolaan kepemilikan umum dan negara. Yang dikumpulkan di Baitul Mal.

Ketiga, para pejabat akan diwajibkan untuk fit and proper tes, termasuk diwajibkan menghitung harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat, bahkan secara berkala negara akan menghitungnya. Ketakwaan yang tinggi menjadi ukuran mereka boleh menjadi pejabat, mereka adalah orang yang sadar bahwa jabatan adalah amanah. Maka, suasana keimanan yang tinggi ini akan senantiasa disoundingkan oleh negara, sejak dari pendidikan dini melalui kurikulum. Demikian pula dengan kajian-kajian yang akan mengupgrade pemahaman masyarakat dan pegawai akan diselenggarakan oleh negara.

Negara akan meluruskan pemahaman kaum Muslim, bahwa kebahagiaan atau kesuksesan bukan dari banyaknya harta, kendaraan, ketenaran dan sebagainya, melainkan Rida Allah swt. Stimulasi kapitalisme melalui media sosial, perilaku pejabatnya dan ulama yang terbawa aruslah yang menjadi racun pemikiran kaum Muslim, maka akan dienyahkan.

Ketiga, akan memberikan sanksi tegas bagi pelaku korupsi, kolusi, nepotisme dan lainnya yang itu bertentangan dengan syariat. Jenisnya bergantung pada pendapat Khalifah,apakah di buang, dimiskinkan, hingga dibunuh. Semua dalam rangka menegakkan keadilan (Jawabir) dan penebusan dosa (jawazir) agar diakhirat tidak ada lagi balasan atas tindak kriminal yang dilakukan di dunia.

Keempat, negara haram bekerja sama dengan negara kafir terutama yang berstatus kafir harbi fi’lan atau yang jelas-jelas memerangi kaum Muslimin. Hubungan yang dibangun adalah perang, bukan kerjasama apalagi meratifikasi hukum mereka menjadi hukum kita, sebab ini bicara landasan hukum yang dibangun di atasnya, Islam tidak menerima sekulerisme. Sebagaimana firman Allah swt,”Barang siapa yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Ma’idah: 44). Nauzubillah.

Wal hasil, jika kita sudah melihat secara jelas, bahwa penetapan RUU perampasan aset ini menjadi UU hanyalah kebijakan tambal sulam, dan tidak menyentuh akar persoalan, yaitu dengan mencabut kapitalisme dan menggantinya dengan hukum yang berasal dari Allah swt, Wallahu a’lam bish showab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *