Palestina Butuh Solusi Hakiki

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh: Dewi Sekar
Mahasiswi, fresh graduate

Memasuki Oktober 2025, Gaza telah genap dua tahun hidup dalam penderitaan akibat agresi dan kekerasan yang dilakukan oleh Israel. Deretan bangunan hancur, ribuan korban sipil berjatuhan, dan krisis kemanusiaan kian memburuk. Namun, hingga kini, dunia internasional belum juga menemukan cara untuk menghentikan tragedi yang oleh banyak pihak disebut sebagai genosida ini.

Pertemuan dan sidang internasional terus digelar, namun tak menghasilkan tindakan nyata. Kecaman demi kecaman dari para pemimpin dunia tak lebih dari gema diplomatik tanpa daya. Di tengah mandeknya langkah politik global, masyarakat sipil justru bergerak sendiri. Berbagai inisiatif solidaritas bermunculan, dari aksi long march, pengumpulan bantuan sosial, hingga pelayaran kemanusiaan seperti Sumud Flotilla—semuanya mencerminkan kepedulian yang tak padam, meski hasilnya belum benar-benar membebaskan Palestina dari belenggu penjajahan.

Ilusi Solusi Dua Negara

Salah satu jalan yang terus diusung oleh berbagai pemimpin dunia adalah skema Two-State Solution atau solusi dua negara. Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, misalnya, telah berulang kali menyuarakan dukungan terhadap konsep ini di berbagai forum internasional—mulai dari IISS Shangri-La Dialogue 2024, pertemuan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, hingga konferensi tingkat tinggi mengenai perdamaian Palestina.

Namun, banyak kalangan menilai solusi dua negara bukanlah jawaban sejati. Secara logika, bagaimana mungkin negara penjajah dan negara yang dijajah dapat hidup berdampingan dalam keadilan yang sama? Two-State Solution justru berpotensi melanggengkan dominasi Israel, yang dengan berbagai cara bisa kembali memperluas wilayahnya di kemudian hari.

Lebih jauh lagi, gagasan ini bahkan bukan lahir dari keinginan rakyat Palestina. Ia berakar dari Komisi Peel bentukan pemerintah kolonial Inggris pada 1936—negara yang juga memfasilitasi migrasi besar-besaran kaum Yahudi ke tanah Palestina. Maka, mendukung Two-State Solution sama saja dengan melanjutkan logika kolonial: memberi tempat bagi penjajahan yang dibungkus dengan istilah perdamaian.

Persoalan Umat yang Terpecah

Masalah mendasar Palestina bukan hanya konflik teritorial, tetapi juga keterpecahan umat Islam sendiri. Dunia Islam kini terbelah dalam batas nasionalisme, kehilangan satu kepemimpinan dan sistem yang menyatukan. Padahal, sejarah mencatat, tanah Palestina adalah tanah kharajiyah wilayah yang ditaklukkan oleh kaum Muslim pada masa Khalifah Umar bin Khattab dan sejak itu menjadi bagian dari wilayah Islam.

Kesadaran akan kepemilikan ini seharusnya menjadi bagian dari keimanan umat Islam di seluruh dunia. Sebab, pembebasan Palestina pada masa lalu tidak pernah terjadi melalui diplomasi semata, tetapi lewat persatuan dan jihad di bawah satu kepemimpinan.

Jihad Sebagai Kewajiban Kolektif

Syariat Islam menegaskan bahwa ketika wilayah kaum Muslim dijajah, jihad menjadi kewajiban bagi seluruh umat. Allah berfirman:

“Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 190)

Imam An-Nawawi dalam Rawdatuth Thalibin juga menyatakan bahwa jika orang-orang kafir menyerang negeri Muslim, maka wajib bagi penduduknya memerangi mereka dan mengusirnya dengan segala cara yang mungkin.

Untuk menjalankan kewajiban ini, diperlukan kekuatan politik dan militer yang hanya bisa diwujudkan oleh sebuah negara. Di sinilah pentingnya keberadaan seorang khalifah, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

“Sungguh, imam (khalifah) adalah perisai. Orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR Muslim)

Meneladani Sejarah Pembebasan

Sejarah mencatat dua momentum besar pembebasan Palestina. Pertama, pada masa Khalifah Umar bin Khattab melalui pasukan Amr bin Ash. Kedua, pada masa Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi. Keduanya menunjukkan pola yang sama: persatuan umat dan perjuangan kolektif di bawah satu kepemimpinan Islam.

Kini, saat berbagai solusi politik gagal mengakhiri penderitaan Palestina, umat Islam semestinya menengok kembali pada sejarahnya sendiri. Islam telah memiliki solusi hakiki bagi pembebasan Palestina, yakni persatuan dan perjuangan di bawah satu kepemimpinan yang adil.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *