Pasar Murah Hanya Obati Gejala, Akar Masalah Tak Tersentuh

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Pemerintah Provinsi Jawa menggelar operasi pasar murah di Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, Kamis (4/9/2025). Program ini menjadi strategi pengendalian inflasi daerah sekaligus menjaga daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian harga pangan.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa hadir langsung bersama Wakil Bupati Sidoarjo Mimik Idayana. Khofifah menegaskan, stok logistik di Jatim aman, hanya saja distribusi masih menjadi kendala utama yang memengaruhi harga di tingkat konsumen.

Masyarakat jelas diuntungkan. Harga komoditas pokok saat itu lebih rendah dibanding pasar tradisional, bahkan di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET). Pemprov Jatim juga menyiapkan anggaran Rp1,5 triliun untuk menyerap hasil panen tebu rakyat sebagai perlindungan bagi petani sekaligus menjaga keseimbangan harga.

Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim mencatat, beras, minyak goreng, dan telur ayam ras menjadi penyumbang inflasi terbesar. Ketiga komoditas ini kini difokuskan dalam program pasar murah.

Hanya Obati Gejala

Langkah ini memang tampak rasional. Harga mahal, akses terbatas, lalu pemerintah hadir dengan solusi pasar murah. Namun, sampai kapan? Jika harga bisa diturunkan sehari, mengapa tidak setiap hari?

Pasar murah ibarat obat gejala. Manfaatnya hanya sesaat. Setelah itu, rakyat kembali dihadapkan pada harga tinggi, biaya hidup yang kian menekan, serta beban pajak dan iuran lain. Akar masalah sesungguhnya tidak tersentuh.

Inilah wajah sistem kapitalisme. Pemerintah berperan layaknya pedagang yang menghitung untung-rugi, bukan pengayom rakyat. Dana APBD yang sebagian besar bergantung pada pajak terbatas, sementara kebutuhan rakyat harus dibagi dengan banyak sektor lain.

Islam dan Model Kesejahteraan

Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah ra’in (penggembala) yang bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rakyatnya. Kebijakan seperti pasar murah tidak cukup jika hanya bersifat sementara. Negara semestinya membangun ketahanan pangan dari hulu hingga hilir: memperbaiki jalur distribusi, menghapus praktik curang, serta mencegah monopoli tengkulak maupun korporasi besar.

Inflasi juga dipicu sistem moneter berbasis uang kertas. Pencetakan uang tanpa jaminan emas justru melemahkan daya beli rakyat. Islam menegaskan penggunaan dinar dan dirham yang nilainya stabil sepanjang zaman.

Selain itu, syariat Islam mengatur negara mengelola sumber daya alam secara mandiri tanpa campur tangan asing. Dengan begitu, lapangan kerja terbuka luas, rakyat memperoleh akses kebutuhan pokok, dan distribusi ke daerah rawan dapat dijalankan melalui mekanisme subsidi silang sebagaimana dilakukan Umar bin Khattab saat paceklik di Madinah.

Pendanaan negara pun tidak bergantung pada pajak atau utang berbasis riba. Baitulmal menjadi sumber utama dari pengelolaan kepemilikan umum, kepemilikan negara, serta zakat.

Dalam kerangka ini, negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Model kesejahteraan seperti ini mustahil diwujudkan dalam sistem kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan.

Pertanyaannya, akankah umat Islam terus bergantung pada sistem yang rapuh ini, atau kembali pada aturan Allah yang menjamin keadilan dan kesejahteraan?**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *