Pro Kontra Marketplace Guru, Lantas ini Masalah Atau Solusi?

Jasa Pembuatan Lagu

www.Jurnalkota.online

Oleh : Dina Aprilya, Aktivis Muslimah Medan

Kebutuhan tenaga pendidik (guru) masih menjadi problem serius dunia pendidikan di Indonesia. Nasib guru honorer masih saja memilukan. Tuntutan agar mereka diangkat menjadi ASN belum bisa diwujudkan sepenuhnya. Program pengangkatan sejuta guru menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang dirancang Kemendikbudristek juga mengalami banyak kendala.

Pemanfaatan kemajuan teknologi kemudian menjadikan Kemendikbudristek yang dikomandani mantan bos Gojek ini mengeluarkan beberapa platform pendidikan, seperti Merdeka Mengajar, Rapor Pendidikan, SIPLah, dan sebagainya.

Mendikbudristek Nadiem Makarim juga menuai kontroversi dengan terobosan barunya lewat rapat kerjanya. Nadiem mengusulkan program Marketplace Guru sebagai solusi mengatasi kekurangan tenaga pendidik di Indonesia. Nantinya, pihak sekolah dapat melakukan check out kebutuhan guru secara langsung di platform yang disediakan pemerintah ini.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud) Nadiem Makarim menuai pro kontra lantaran ide yang digagasnya, yaitu Marketplace Guru. Rencananya, program tersebut bakal mulai diimplementasikan pada 2024 mendatang. Lantas, sebenarnya apa itu Marketplace Guru? (tempo.co, 05/06).

Marketplace Guru merupakan platform basis data yang menggunakan teknologi untuk menjadi lokapasar bagi para guru yang akan diusulkan menjadi ASN. Hal ini untuk mengatasi permasalahan guru honorer dan kekurangan guru di sekolah negeri. Oleh karenanya, platform ini berisi daftar semua guru yang boleh mengajar yang nantinya bisa diakses oleh seluruh sekolah di Indonesia. Dengan platform yang rencananya diimplementasikan pada 2024 ini, diharapkan bisa menghentikan terus bertambahnya guru honorer (tempo.co, 05/06).

Nadiem mengungkapkan, Marketplace Guru dapat dijadikan tempat mendaftar dan memilih lokasi mengajar. Setelah guru terkonfirmasi direkrut oleh sekolah, guru tersebut secara otomatis telah menjadi ASN PPPK. Alhasil, Marketplace Guru dianggap solusi atas persoalan guru honorer yang selama ini timpang dan persebarannya tidak merata.

Program tersebut telah didiskusikan selama enam bulan bersama tiga kementerian lain, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi. Rencananya akan diimplementasikan pada 2024 sebagai solusi permanen dalam mengatasi persoalan rekrutmen guru.

Pro kontra terjadi di tengah masyarakat. Pihak yang pro mengatakan bahwa program ini akan meningkatkan kualitas guru karena para guru akan berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Sementara itu, yang kontra mengatakan bahwa penggunaan diksi “marketplace” cenderung merendahkan martabat guru sebagai tenaga pendidik. Profesi guru yang mulia malah ditempatkan bersama dengan barang dagangan, tentu ini bisa menurunkan muruah seorang guru.

Memang tidak bisa dipungkiri, meski sistemnya tidak sama persis dengan jual beli barang dalam lokapasar pada umumnya, tetapi Marketplace Guru ini memang ada kemiripan. Guru menjadi objek yang ditawarkan ke pihak sekolah. Pemerintah akan menyeleksi siapa saja yang bisa ditawarkan (masuk basis data). Permintaan dan penawaran pun akan terus terjadi selama dunia pendidikan membutuhkan guru. Begitulah mekanismenya hingga sekolah tidak boleh lagi merekrut guru honorer dan hanya bisa mendapatkan guru melalui Marketplace Guru.

Program ini sejatinya tidak akan mampu menjawab persoalan utama mengenai sistem perekrutan guru. Ini karena persoalan mendasarnya adalah ketimpangan nasib guru honorer dan ketidakmerataan penyebaran tenaga pendidik di Indonesia. Akan tetapi, munculnya platform tersebut jelas tidak bisa terlepas dari paradigma sekuler kapitalistik yang mendasarinya. Dalam sistem kapitalisme, semua barang dan jasa yang bisa dimanfaatkan (berdasarkan standar kapitalisme) dipandang sebagai barang ekonomi. Profesi guru memiliki manfaat sehingga dipandang “layak jual” dan harus mendapatkan honor yang sesuai.

Jika pendistribusian guru sudah diserahkan kepada pasar, malah akan makin menciptakan kesenjangan antarsekolah. Ini karena hanya sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas terbaiklah yang dapat dengan mudah merekrut guru-guru berkualitas. Sebaliknya, sekolah dengan fasilitas minim dan jauh dari perkotaan, harus siap menerima sisanya.

Kompetisi antarsekolah pun menjadikan pihak sekolah berlomba-lomba untuk menjadikan anak didik mereka sekadar berprestasi dalam banyak bidang. Akhirnya, mereka lupa tujuan utamanya, yaitu menjadi manusia yang bermanfaat bagi umat. Begitu pun motivasi individu guru, bukan lagi mengabdikan ilmunya untuk umat, melainkan demi materi. Para guru akan menjadikan profesi guru sebagai layanan jasa dalam perdagangan. Makin berkualitas, bayaran mereka akan makin besar. Semua inilah yang nantinya akan makin mengukuhkan paham materialistis. Generasi akan memiliki visi hidup yang juga materialistis dan standar kebahagiaannya disandarkan pada perolehan materi semata.

Sebenarnya, program ini membuktikan bahwa negara telah gagal dalam mengatur distribusi guru. Semestinya, dengan kemampuannya, pemerintah mampu mendistribusikan guru secara langsung. Persoalan guru yang tidak mau ditempatkan di pelosok pun sebenarnya karena kesejahteraan mereka yang tidak terjamin. Andai saja pemerintah menjamin itu semua, persoalan ketimpangan guru pun tidak akan ada. Begitu pun jumlah guru honorer yang menumpuk, mereka akan cepat terdistribusikan. Dengan kondisi begini, tentu tidak akan mungkin bisa menyejahterakan para guru dan memberikan fasilitas sekolah yang merata.

Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang harus dijamin negara. Negara memiliki peran sentral dalam pengaturannya dan bersungguh-sungguh berupaya agar seluruh warganya mendapatkan akses yang sama terhadap pendidikan. Dengan kekuatan baitulmalnya, negara akan mampu menyelesaikan ketimpangan fasilitas sekolah di kota dan desa. Pembangunan infrastruktur akan berfokus pada terwujudnya kemaslahatan umat, bukan pada pemilik modal. Alhasil, pembangunan sekolah dengan fasilitasnya yang terbaik dan terdepan akan masif dilakukan.
Begitu pun kesejahteraan guru, akan sangat diperhatikan. Guru tidak boleh tersibukkan dengan hal lain, kecuali belajar dan mengajar.

Dalam Islam, posisi guru begitu mulia. Dari guru yang terbaiklah akan terlahir generasi bersyahsiah Islam dan mampu menjadi uyunul ummah (mutiara umat).

Gaji para guru pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, misal, begitu sejahtera. Imam Suyuthi mengatakan, “Dari bentuk perhatian Sultan (Shalahuddin) terhadap pendidikan pada masa itu, beliau memberikan kepada setiap pengajar gaji sebesar 40 dinar setiap bulannya (sekitar Rp156 juta) dan untuk para pengelola madrasah sekitar 10 dinar (sekitar Rp39 juta). Selain gaji pokok, beliau juga memberikan tunjangan setiap harinya makanan pokok sebesar 60 rithl Mesir (sekitar 10 kg).” Sungguh, hanya dengan kembali pada syariat Islam yang kafah (dalam sistem Khilafah) kita bisa mendapatkan jalan keluar terbaik. Wallahhu A’lam Bishshowab. **

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *