Oleh: Arista Yuristania
Aktivis Muslimah
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijanjikan sebagai solusi gizi anak bangsa kembali menuai sorotan. Alih-alih menekan angka malnutrisi dan stunting, program ini justru memicu kasus keracunan massal di sejumlah daerah.
Di Sleman, Yogyakarta, sebanyak 135 siswa SMPN 3 Berbah mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan MBG pada Selasa, 25 Agustus 2025. Pada hari yang sama, 20 santri Pondok Pesantren Al Islah di Lampung Timur juga dilarikan ke rumah sakit dengan keluhan mual dan pusing. Sehari berselang, giliran 456 siswa di Kabupaten Lebong, Bengkulu, yang mengalami keracunan hingga memaksa Gubernur Helmi Hasan menghentikan sementara program MBG di wilayahnya.
Kasus serupa bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, pada 12 Agustus 2025, sebanyak 196 siswa dan guru di Sragen juga mengalami keracunan setelah menyantap makanan dari program yang sama. Hasil uji laboratorium menyebutkan sanitasi lingkungan menjadi persoalan utama, yang menandakan lemahnya pengawasan dan minimnya standar operasional prosedur (SOP) di lapangan.
Program Mulia, Pelaksanaan Bermasalah
Secara konsep, MBG diluncurkan sebagai janji kampanye presiden untuk mengatasi malnutrisi, stunting, sekaligus mendorong ekonomi lokal. Namun, rentetan kasus keracunan menunjukkan pelaksanaan yang jauh dari harapan. Lemahnya sistem pengawasan, buruknya sanitasi, serta belum jelasnya SOP memperlihatkan kurangnya keseriusan negara dalam merencanakan program ini.
Problem ini juga memperlihatkan bahwa MBG bukan solusi mendasar atas persoalan gizi. Akar masalah sesungguhnya adalah ketidakmampuan negara menjamin kesejahteraan rakyat, mulai dari akses pekerjaan layak, layanan kesehatan gratis yang merata, hingga edukasi gizi bagi keluarga.
Kritik atas Sistem yang Ada
Pola ini tak lepas dari sistem kapitalisme yang menempatkan negara lebih banyak sebagai regulator kepentingan korporasi ketimbang pengurus rakyat. Program sosial pun rentan dijadikan proyek politis jangka pendek yang sarat pencitraan. Selama sistem ini dipertahankan, persoalan gizi buruk, stunting, hingga keracunan massal akan terus berulang tanpa solusi mendasar.
Dalam pandangan Islam, negara seharusnya berperan aktif menjamin kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, termasuk pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, kesehatan, dan pendidikan. Mekanismenya dilakukan melalui pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan publik, sistem perdagangan yang adil, serta pendistribusian dana dari Baitul Maal bagi masyarakat. Dengan cara itu, negara bisa menyediakan layanan kesehatan gratis, pendidikan berkualitas, hingga edukasi gizi yang memadai.
Jalan Keluar
Kesejahteraan sejati tidak mungkin terwujud bila sistem yang ada hanya melahirkan proyek politis tanpa menyentuh akar masalah. Islam menegaskan bahwa pemimpin adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan mereka. Karena itu, solusi hakiki untuk menjawab problem gizi, kesehatan, dan kesejahteraan adalah hadirnya sistem yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar proyek pencitraan.
Wallahu a’lam bishshawab.







