Oleh: Ryang Adisty Farahsita, M.A.
Pegiat Opini, Aktivis Muslimah, Sleman Yogyakarta
Rasa getir menyeruak di tengah masyarakat ketika viral rincian gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bagaimana tidak, total pendapatan anggota DPR bisa menyentuh angka Rp104 juta per bulan.
Tak berhenti di situ, mereka juga memperoleh fasilitas kredit mobil Rp70 juta per orang per periode, dana pensiun 60 persen dari gaji pokok (sekitar Rp2,5 juta–Rp2,7 juta per bulan), hingga tunjangan hari tua Rp15 juta ketika pensiun. Angka ini merujuk pada Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000.
Kontras dengan itu, upah minimum provinsi (UMP) di sejumlah daerah masih jauh dari kata layak. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, rata-rata UMP 2025 adalah Rp3,31 juta. Tiga provinsi dengan UMP terendah adalah Jawa Tengah (Rp2,16 juta), Jawa Barat (Rp2,19 juta), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Rp2,26 juta).
Ironinya, meski upah minimum rendah, harga kebutuhan pokok maupun biaya hidup di daerah tersebut relatif sama dengan wilayah bergaji tinggi seperti DKI Jakarta atau Bekasi, yang UMR-nya menembus Rp5,69 juta.
Contoh lain terlihat pada harga tanah dan rumah di DIY. Menurut Ketua DPD REI DIY, Ilham Muhammad Nur, harga tanah di utara Yogyakarta bisa menembus Rp1 miliar untuk lahan seluas 110–120 meter persegi. Angka ini setara dengan harga tanah di Bekasi, padahal perbedaan UMP antara keduanya begitu jauh.
UMP sendiri ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL). Namun, komponen KHL kerap dianggap terlalu sederhana—sekadar cukup untuk bertahan hidup, jauh dari standar sejahtera. Ditambah lagi, beban masyarakat semakin berat dengan adanya pajak, tagihan listrik, air, hingga kebutuhan sosial seperti sumbangan pernikahan, kelahiran, maupun kematian.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pekerja dipandang sebagai faktor produksi. Upah ditekan serendah mungkin demi memaksimalkan keuntungan. Tak jarang, meskipun UMP sudah ditetapkan, buruh tetap menerima gaji di bawah standar.
Situasi ini kian kontras ketika disandingkan dengan gaji anggota DPR yang mencapai puluhan kali lipat UMP. Padahal, kontribusi dan manfaat yang dirasakan masyarakat dari kinerja wakil rakyat sering kali dipertanyakan.
Kesenjangan ini wajar menimbulkan pertanyaan: di mana letak keadilan? Apakah wakil rakyat benar-benar hadir dengan empati untuk rakyat yang mereka wakili, atau justru semakin jauh dari denyut kehidupan masyarakat kecil?**







