Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Ada yang menarik dari kebijakan Pemerintah Kota Surabaya. Di saat sejumlah daerah menaikkan pajak bumi dan bangunan (PBB)—bahkan di Pati mencapai 250 persen—Surabaya justru memilih langkah berbeda. Alih-alih menaikkan pajak yang berpotensi membebani masyarakat, Pemkot Surabaya memutuskan mengambil pinjaman daerah sebesar Rp452 miliar (diagramkota.com, 24/8/2025).
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menyebut pinjaman tersebut bagian dari Rancangan Perubahan APBD untuk mendanai proyek infrastruktur prioritas, seperti Jalur Lingkar Barat (JLB), pelebaran Jalan Wiyung hingga Gresik, pengalihan saluran Gunungsari, penerangan jalan umum, serta penanggulangan genangan air.
Menurut Eri, yang juga menjabat Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) pinjaman menjadi opsi rasional menutup defisit APBD sekaligus menjaga pembangunan tetap berjalan. Ia menegaskan langkah ini sudah dikaji matang, melibatkan DPRD, serta sesuai aturan Kementerian Dalam Negeri.
Selain pinjaman, Pemkot juga mengandalkan optimalisasi pajak dari sektor hotel, restoran, dan usaha lain untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Harapannya, pengusaha melaporkan pajaknya secara jujur sebagai bentuk kontribusi terhadap pembangunan kota (suarasurabaya.net, 15/8/2025).
Eri memastikan cicilan beserta bunga pinjaman sebesar 13,7 persen tidak akan mengganggu program prioritas Pemkot, mulai dari pendidikan dan kesehatan gratis, hingga perbaikan rumah tidak layak huni (Rutilahu).
Namun, realitas fiskal Surabaya menunjukkan tantangan tersendiri. Dari total APBD sekitar Rp12 triliun, PAD 2025 justru menurun. Salah satunya akibat penurunan tarif pajak parkir dari 20 persen menjadi 10 persen. Kondisi ini memaksa Pemkot memilih antara menaikkan pajak atau mencari pembiayaan alternatif.
Tidak berhenti di Rp452 miliar, Pemkot juga mengajukan pinjaman tambahan dengan skema outstanding, jumlahnya kurang dari Rp5 triliun. Skema ini melibatkan perbankan dan lembaga keuangan seperti PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Kepala Bappedalitbang Surabaya, Irvan Wahyudrajat, menjelaskan bunga hanya dikenakan jika dana benar-benar digunakan, dengan target penyelesaian infrastruktur maksimal 2027.
Utang atau Pajak, Sama-sama Beban Rakyat
Pertanyaannya, mana yang lebih ringan bagi masyarakat: pajak dinaikkan atau utang daerah ditambah? Pada akhirnya, keduanya sama-sama bersumber dari pajak rakyat yang terkumpul dalam APBD.
Pajak ditarik dari berbagai sektor: rumah tangga, usaha, hingga profesi. Ironisnya, kelompok menengah bawah justru paling terbebani, sementara kalangan usaha besar masih memiliki celah untuk mengalihkan beban ke biaya produksi. Tak jarang pula pejabat publik mendapat keringanan pajak penghasilan. Situasi ini memperlebar jurang: yang kaya makin kaya, yang miskin makin terhimpit.
Karena itu, narasi “tidak ingin memberatkan rakyat” dengan tidak menaikkan pajak sebenarnya bisa menyesatkan. Dalam sistem ekonomi kapitalistik, utang dan pajak adalah dua instrumen utama pembiayaan negara—dan ujungnya tetap ditanggung rakyat.
Alternatif dalam Perspektif Islam
Islam menawarkan kerangka berbeda dalam tata kelola ekonomi negara. Syariat melarang utang berbasis riba serta pemungutan pajak yang bersifat menzalimi rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga pemungut cukai” (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim).
Sebagai gantinya, negara dalam sistem Islam mengandalkan Baitulmal yang bersumber dari pengelolaan harta milik umum (seperti tambang, energi, hutan, laut), harta milik negara (fa’i, kharaj, ghanimah), serta zakat. Zakat pun terdistribusi khusus untuk delapan golongan yang berhak.
Dengan kekayaan alam yang melimpah, negeri-negeri muslim sejatinya memiliki modal cukup untuk membiayai pembangunan tanpa harus menjerat diri pada pajak tinggi maupun utang berbunga.
Penutup
Janji “tidak membebani rakyat” hanya bisa benar-benar terwujud jika sistem ekonomi yang dipakai berpihak pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan kapital. Dalam perspektif Islam, pengelolaan kekayaan diarahkan sepenuhnya untuk kesejahteraan umat, bukan untuk melanggengkan kepentingan politik atau kelompok tertentu.
Pertanyaan akhirnya: hukum dan sistem mana yang lebih layak diterapkan demi kemaslahatan rakyat?*”







