Solusi Dua Negara: Diplomasi Basa-basi

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Presiden RI Prabowo Subianto kembali menyinggung opsi two-state solution dalam forum PBB akhir September 2025. Pernyataan itu bahwa Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina dan bersedia mengakui Israel apabila Palestina mendapat pengakuan penuh sesungguhnya bukan hal baru: gagasan serupa pernah muncul dalam berbagai forum sejak era Perjanjian Oslo (1993) hingga Inisiatif Perdamaian Arab (2002). Namun, menimbang realitas di lapangan, retorika itu berisiko menjadi sekadar basa-basi diplomatik tanpa jalan nyata menuju keadilan dan perlindungan kemanusiaan.

Gagasan dua negara pada prinsipnya menawarkan jalan kompromi: Palestina dan Israel hidup berdampingan sebagai negara merdeka. Kenyataannya, keseimbangan kekuasaan, penguasaan wilayah, serta kebijakan yang sistemik termasuk pemukiman, kontrol perbatasan, dan pengelolaan sumber daya membuat kemungkinan implementasi solusi ini semakin berat. Kritik akademik dan pengamat internasional menilai bahwa model dua negara sering mengabaikan ketidakseimbangan struktural konflik dan malah berpotensi melanggengkan penderitaan rakyat Palestina apabila tidak disertai jaminan nyata atas hak dan keamanan mereka.

Kendala praktisnya melibatkan ranah politik internasional. Sebuah pengakuan formal terhadap kenegaraan seringkali membutuhkan dukungan lebih luas, termasuk legitimasi di Dewan Keamanan PBB yang dipengaruhi oleh kepentingan besar negara adidaya. Posisi negara-negara kuat serta kebijakan sikap negara pendukung yang berbeda menjadikan proses diplomasi panjang dan rentan intervensi kepentingan geopolitik. Dalam konteks ini, deklarasi pengakuan sebagian negara terhadap Palestina memang penting secara simbolis dan politik, tetapi belum otomatis mengubah kondisi hukum dan perlindungan bagi warga sipil di wilayah terdampak.

Selain aspek politik, dimensi ekonomi turut memperumit situasi. Aktivitas perusahaan dan investasi di wilayah pendudukan, serta penahanan penerimaan fiskal Otoritas Palestina, memperdalam krisis kemanusiaan dan menggerus kapasitas institusi Palestina untuk memberikan layanan publik. Langkah-langkah semacam pembentukan koalisi donor internasional untuk menopang keberlanjutan keuangan Otoritas Palestina adalah respons darurat yang perlu, tetapi bukan solusi struktural jangka panjang.

Maka, apa yang realistis dan etis dapat dilakukan oleh komunitas internasional dan negara-negara yang berempati?

Pertama, perlu konsistensi dalam penegakan hukum internasional. Upaya memperkuat mekanisme hukum internasional misalnya kerja sama dengan pengadilan internasional, investigasi independen, serta penegakan sanksi terhadap pelanggaran hak asasi harus diprioritaskan sebagai instrumen akuntabilitas. Pengakuan diplomatik yang bertumpu pada prinsip hukum dan perlindungan hak sipil lebih bermakna bila diiringi langkah hukum yang konkret.

Kedua, perlindungan kemanusiaan harus menjadi prioritas mutlak. Akses kemanusiaan tanpa hambatan, pembukaan koridor bantuan, penghentian praktik yang memperburuk kelaparan atau krisis kesehatan, serta jaminan keselamatan warga sipil adalah kewajiban mendesak yang harus ditegakkan oleh semua pihak berkepentingan.

Ketiga, diplomasi kolektif yang mandiri dari kepentingan adidaya perlu diperkuat. Negara-negara kawasan, organisasi regional, dan koalisi negara lain dapat menginisiasi langkah diplomatik terkoordinasi yang menekankan prinsip hak asasi, solusi politik yang adil, dan jaminan keamanan bagi semua pihak. Penguatan peran ASEAN, Liga Arab, atau organisasi internasional lain dalam merumuskan peta jalan perdamaian yang inklusif dapat menjadi alternatif strategis.

Keempat, dukungan masyarakat sipil dan upaya non-kekerasan harus diakui sebagai bagian penting dari proses perubahan. Solidaritas internasional berbasis bantuan kemanusiaan, advokasi hak asasi, dokumentasi bukti pelanggaran, serta tekanan publik melalui jalur damai adalah alat yang sah dan efektif untuk mendorong akuntabilitas.

Akhirnya, klaim dukungan terhadap kemerdekaan Palestina menuntut keberanian politik dan konsistensi tindakan bukan hanya retorika. Kepemimpinan yang bertanggung jawab harus menunjukkan bahwa tujuan jangka panjang bukan sekadar menegosiasikan batas wilayah, melainkan menjamin hak dasar, martabat, dan keamanan manusia yang menjadi korban konflik. Indonesia, sebagai negara dengan pengaruh diplomatik di kawasan, dapat memainkan peran konstruktif bila kebijakan luar negerinya menitikberatkan pada perlindungan kemanusiaan, penegakan hukum internasional, dan dukungan terhadap solusi yang adil serta berkelanjutan.

Wallahu a‘lam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *