www.jurnalkota.co.id
Oleh: Ratih Ardianingsih
Mahasiswi Sarjana Ilmu Hadis, Yogyakarta
Banjir bandang dan tanah longsor yang berulang kali melanda sejumlah wilayah di Sumatera tidak dapat semata-mata dipahami sebagai akibat curah hujan ekstrem. Bencana tersebut justru membuka persoalan yang lebih mendasar, yakni lemahnya tata kelola lingkungan yang dijalankan negara, terutama dalam kebijakan perizinan pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam beberapa dekade terakhir, pembukaan lahan skala besar, penebangan hutan, ekspansi perkebunan sawit, hingga deforestasi berlangsung secara masif. Praktik-praktik ini menghilangkan fungsi hutan sebagai daerah resapan air sekaligus peredam alami pergerakan tanah. Akar-akar pohon yang semestinya menahan struktur tanah kian hilang, membuat wilayah rentan diterjang banjir dan longsor saat hujan deras turun.
Fenomena gelondongan kayu yang terbawa arus banjir menjadi bukti konkret bahwa kerusakan hutan tidak terjadi secara alami. Aktivitas eksploitasi yang tak terkendali telah memperparah daya rusak bencana, sekaligus menyingkap kegagalan negara dalam melindungi lingkungan hidup sebagai ruang hidup masyarakat.
Kondisi ini mencerminkan problem kepemimpinan dan tata kelola. Dalam konsepsi kepemimpinan ideal, negara berperan sebagai ra’in pemelihara urusan rakyat yang bertanggung jawab menjamin keselamatan dan kesejahteraan warganya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Negara kerap tampil sebagai fasilitator kepentingan korporasi melalui kemudahan perizinan eksploitasi hutan dan lahan, dengan mengabaikan risiko ekologis yang mengancam masyarakat.
Kebijakan semacam ini tidak lepas dari pengaruh sistem sekuler-kapitalisme yang menempatkan keuntungan ekonomi sebagai pertimbangan utama. Dalam kerangka tersebut, keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan kerap menjadi variabel yang dikorbankan. Orientasi untung-rugi jangka pendek akhirnya melahirkan kebijakan yang abai terhadap daya dukung alam.
Dalam perspektif Islam, pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan dan kawasan tambang tidak diserahkan kepada individu atau kelompok tertentu untuk dieksploitasi demi kepentingan segelintir pihak. Negara bertanggung jawab mengelolanya secara langsung dan mengembalikan hasilnya untuk kemaslahatan umat. Prinsip ini menegaskan larangan eksploitasi berlebihan serta kewajiban menjaga keseimbangan alam.
Pengelolaan sumber daya alam yang berlandaskan nilai-nilai tersebut menempatkan upaya pemulihan lingkungan, seperti reboisasi dan konservasi, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan. Dengan demikian, pemanfaatan alam tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan dan keselamatan manusia. Tanpa perubahan paradigma ini, bencana ekologis di Sumatera berpotensi terus berulang, dengan rakyat kembali menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya.**












