www.jurnalkota.co.id
Oleh: Marnisa, S.P.
Aktivis Muslimah
“Sistem kapitalisme lah yang menciptakan kemiskinan, karena kekayaan hanya menumpuk pada segelintir elit, sementara kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian melebar.”
Pernyataan itu terasa nyata di tengah kehidupan masyarakat pesisir hari ini. Di saat sulitnya lapangan kerja dan terbatasnya akses ekonomi, berbagai program pemberdayaan bermunculan untuk menanggulangi kemiskinan. Salah satunya, Kampung Pesisir Berdaya atau Kabaya, yang diinisiasi Pertamina.
Program ini menghadirkan angin segar bagi warga Kampung Nelayan Belawan. Melalui kegiatan seperti bank sampah, pelatihan keterampilan, dan dukungan UMKM, warga kini mampu mengolah sampah menjadi sumber pendapatan tambahan, bahkan hingga Rp200 ribu per bulan.
Di kawasan pesisir ini, sampah justru menjadi “emas baru”. Saat laut pasang, tumpukan sampah mengapung di bawah rumah warga di tepi pantai. Bagi mereka, bahan baku mudah didapat, penghasilan pun mengalir.
Tak hanya itu, UMKM kuliner lokal juga berkembang hingga menembus pasar luar daerah, bahkan sampai ke Malaysia. Program Kabaya meraih penghargaan nasional, dinilai efektif menggerakkan ekonomi pesisir dan menjaga kelestarian lingkungan. Pertamina pun memastikan program ini berlanjut dengan fokus pada kemandirian, ekonomi sirkular, dan ketahanan pangan masyarakat nelayan.
Namun, di balik kisah sukses itu, muncul pertanyaan besar: sampai kapan masyarakat bergantung pada program semacam ini?
CSR Bukan Solusi Struktural
Kabaya jelas membawa manfaat. Ia menunjukkan bahwa masyarakat memiliki potensi besar bila diberi akses, pelatihan, dan perhatian yang tepat bukan hanya bantuan konsumtif. Tetapi, di sisi lain, fakta bahwa warga harus “menabung sampah” untuk bertahan hidup memperlihatkan betapa kemiskinan struktural masih mencengkeram.
Program CSR, seberapa pun mulianya, tidak bisa menggantikan peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Di sinilah paradoksnya: perusahaan tampil sebagai “penyelamat” melalui program sosial yang sejatinya sarat publisitas dan terbatas pada lingkup tertentu.
Ketergantungan terhadap CSR justru memperkuat posisi korporasi. Infrastruktur yang dibangun memang membantu masyarakat, tapi sekaligus memuluskan jalur bisnis mereka. Ironisnya, rakyat yang memanfaatkan fasilitas tersebut sering kali tetap harus membayar mahal.
Fenomena ini mencerminkan lemahnya sistem ekonomi yang berlaku. Negara tampak berjarak dari tanggung jawab kesejahteraan rakyat, seolah menyerahkan fungsi sosialnya kepada korporasi lewat proyek-proyek filantropi.
Menuntut Solusi Sistemik
Persoalan masyarakat pesisir bukan semata soal pengelolaan sampah atau pemberdayaan ekonomi, tetapi menyangkut akses terhadap pangan, infrastruktur, dan kondisi lingkungan yang rapuh. Semua itu menuntut solusi sistemik dan berkelanjutan, bukan proyek sosial tahunan yang bersifat sementara.
Dalam sistem Islam, seorang pemimpin (ra’in) memikul tanggung jawab langsung untuk mengurus rakyatnya. Negara tidak menyerahkan pembangunan ekonomi kepada swasta, melainkan memegang kendali penuh atas distribusi dan pengelolaan kekayaan.
Islam menegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar, pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat adalah tanggung jawab negara secara menyeluruh. Sumber daya seperti energi dan tambang yang kini dikuasai korporasi semestinya menjadi milik umum, dikelola negara, dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Tiga Prinsip Kesejahteraan dalam Islam
1. Pemenuhan kebutuhan primer rakyat.
Negara wajib membuka lapangan kerja seluas-luasnya agar setiap kepala keluarga dapat menafkahi keluarganya dengan layak.
2. Pengaturan hak kepemilikan.
Islam membagi kepemilikan menjadi tiga: individu, umum, dan negara. Sumber daya alam termasuk kepemilikan umum yang harus dikelola negara, bukan swasta.
3. Distribusi kekayaan yang adil.
Negara wajib mendistribusikan kekayaan kepada masyarakat yang membutuhkan serta memastikan pembangunan ekonomi bersifat nyata, bukan semu.
Penutup
Kesejahteraan sejati tidak lahir dari proyek CSR atau bantuan sesaat, tetapi dari sistem yang menempatkan negara sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya.
Selama tanggung jawab itu masih disubkontrakkan kepada korporasi, kemiskinan struktural hanya akan berganti wajah, bukan hilang.
Wallahualam bissawab.













