Kabel Fiber Optik Menjamur di Pademangan, Warga Keluhkan Minim Sosialisasi

Jasa Pembuatan Lagu

Jakarta, Jurnalkota.co.id

Deretan tiang setinggi dua lantai berdiri di gang-gang sempit Kelurahan Pademangan Barat, Jakarta Utara. Tiang tersebut menopang kabel serat optik milik Bali Fiber, penyedia layanan internet dan TV kabel di bawah PT Bali Towerindo Sentra Tbk.

Bagi warga, keberadaan kabel fiber optik itu menjadi bagian dari lanskap harian. Namun, di balik janji layanan digital, muncul pertanyaan: apakah ini bentuk inovasi, atau justru invasi infrastruktur yang membatasi ruang publik?

Ekspansi ke Jakarta Utara

Bali Towerindo berdiri pada 2006 dan memperluas jaringan serat optik ke sejumlah kota besar, mulai Jakarta, Bali, Jawa Barat, hingga Jawa Timur. Di Pademangan, layanan yang ditawarkan berupa internet rumah dan TV kabel.

Namun, ekspansi itu turut menancapkan tiang dan jaringan di ruang publik, mulai dari jalur jalan, tiang listrik, hingga pekarangan warga.

Persetujuan Warga Dipertanyakan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang telah direvisi melalui UU Cipta Kerja, mengatur bahwa pemasangan infrastruktur harus mendapat persetujuan pemilik lahan.

Namun, di lapangan persetujuan itu kerap dinilai hanya formalitas. Warga mengaku minim sosialisasi dan baru mengetahui setelah tiang berdiri.

“Awalnya kami diberi tahu hanya kabel yang dipasang, bukan tiang setinggi itu,” kata seorang warga RT 08, Kelurahan Pademangan Barat, Sabtu (30/8/2025).

Risiko dan Dampak Sosial

Di atas kertas, infrastruktur telekomunikasi semestinya inklusif. Faktanya, hanya perusahaan bermodal besar yang mendapat ruang. Sementara itu, tanggung jawab atas risiko di lapangan kerap kabur.

Warga menanggung risiko mulai dari akses jalan yang terganggu, kabel menjuntai, hingga potensi bahaya kelistrikan. Dari sisi estetika, keberadaan tiang juga dikeluhkan merusak lingkungan.

Kontribusi PAD Belum Transparan

Pemerintah daerah menyebut keberadaan Bali Fiber memberi kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi dan pajak izin. Namun, detail besaran kontribusi itu tak pernah dipublikasikan.

“Semua izin sesuai prosedur,” ujar pejabat dinas terkait singkat.

Ketiadaan transparansi menimbulkan pertanyaan, apakah kontribusi tersebut benar melindungi kepentingan publik atau justru memberi karpet merah bagi monopoli.

Tuntutan Warga

Aktivis lokal menilai kehadiran fiber optik tidak ditolak, namun warga berhak tahu perjanjian dan kontrak yang dibuat.

“Ini bukan penolakan teknologi, tapi tuntutan keadilan akses,” ujar R, aktivis jaringan kota Jakarta Utara.

Reformasi Perizinan

Pengamat menilai pemerintah daerah, PLN, dan pengurus lingkungan perlu memperketat pengawasan. Audit berkala, keterbukaan data, dan pelibatan warga menjadi syarat agar transformasi digital tidak berubah menjadi privatisasi ruang publik.

Penulis: Yuni
Editor: Antoni

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *