Ketika Banjir Datang, Negara Justru Menghilang

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh: Suci Musada, S.M.
Aktivis Muslimah

Banjir bandang tidak hanya merobohkan rumah, menyeret tanah dari perbukitan, dan memutus akses jalan di Sumatera Barat, Sumatera Utara, hingga Aceh. Bencana itu juga membawa dampak yang lebih mengkhawatirkan: hilangnya rasa aman masyarakat akibat absennya kepemimpinan yang sigap dan bertanggung jawab.

Di Kota Medan, dampak bencana menjelma dalam antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Ratusan kendaraan mengular tanpa kepastian. Mesin dibiarkan menyala berjam-jam, sementara kecemasan terpancar di wajah warga. BBM mendadak menjadi barang langka yang diperebutkan. Kota seolah lumpuh, bukan karena kehabisan stok, melainkan karena kehabisan kepercayaan (detiknews.com, 1/12/2025).

Ironisnya, kelangkaan tersebut bukan disebabkan keterbatasan pasokan. PT Pertamina melalui Sales Manager Retail Medan, Tito Riyanto, menyatakan bahwa stok BBM di Kota Medan sejatinya mencukupi kebutuhan masyarakat. Namun pernyataan itu datang terlambat, kalah cepat dari kepanikan publik. Distribusi terganggu akibat rusaknya akses jalan karena banjir dan longsor. Cuaca buruk turut memperparah situasi ketika gelombang tinggi di perairan Belawan menghambat kapal pengangkut BBM untuk sandar dan bongkar muat. Rantai pasok pun tersendat.

Di tengah kondisi genting tersebut, persoalan paling serius bukanlah faktor alam, melainkan lemahnya kendali pemerintah daerah dalam mengelola situasi dan informasi. Ketika negara terlambat berbicara, masyarakat bereaksi dengan caranya sendiri: panic buying. Saat pemimpin diam, rumor mengambil alih ruang publik. Informasi simpang siur menyebar tanpa kendali dan memicu kepanikan kolektif yang akhirnya berubah menjadi krisis nyata.

Padahal, bencana bukanlah peristiwa baru di negeri ini. Ia hadir berulang kali, seolah menjadi ujian yang tak pernah selesai. Namun pola respons yang ditampilkan nyaris selalu sama: keterlambatan, kekacauan, dan klarifikasi yang datang setelah situasi terlanjur memburuk. Pemerintah semestinya hadir sejak awal, mengambil alih kendali, memastikan distribusi kebutuhan pokok berjalan, serta menenangkan masyarakat melalui komunikasi yang tegas dan jujur. Tidak cukup sekadar menyatakan stok tersedia, tetapi memastikan pasokan itu benar-benar sampai ke tangan rakyat.

Kegagalan ini tidak berdiri sendiri. Ia berakar pada persoalan yang lebih mendasar, yakni sistem kapitalisme yang membentuk cara pandang kepemimpinan.

Kapitalisme menggeser peran pemimpin dari pelayan rakyat menjadi pengelola kepentingan dan penjaga keuntungan. Negara diperlakukan layaknya korporasi, sementara rakyat direduksi menjadi angka statistik. Dalam sistem ini, kepekaan sosial kerap dianggap beban, bukan kewajiban.

Tak mengherankan bila saat bencana datang, yang lumpuh bukan hanya infrastruktur, tetapi juga nurani penguasa. Perhitungan kerugian ekonomi sering kali lebih cepat dilakukan ketimbang upaya meredakan kecemasan masyarakat. Stabilitas pasar dan citra politik lebih diprioritaskan dibanding ketenangan dan keselamatan rakyat.

Kelangkaan BBM di Medan menjadi potret nyata bagaimana logika kapitalisme bekerja. Distribusi energi yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara tersandera oleh perhitungan untung dan rugi. Negara hadir setengah hati sebagai regulator, sementara mekanisme pasar dibiarkan menentukan nasib masyarakat. Kesiapsiagaan tak pernah menjadi prioritas karena dalam logika kapitalisme, yang tidak menguntungkan dianggap tidak penting.

Lebih jauh, komunikasi publik pun kerap dikorbankan. Informasi tidak disampaikan untuk menenangkan masyarakat, melainkan ditahan atau diseleksi demi kepentingan tertentu. Akibatnya, warga dipaksa bertahan dalam ketidakpastian. Ketika negara bungkam, kepanikan menjadi respons yang paling rasional.

Kapitalisme juga melahirkan pemimpin yang jauh dari realitas lapangan. Mereka nyaman di ruang rapat, sibuk mengurus proyek, anggaran, dan relasi dengan pemilik modal. Sementara rakyat berdesakan di SPBU, elite justru disibukkan dengan pengamanan kepentingannya sendiri.

Dalam sistem ini, bencana bahkan berpotensi menjadi peluang. Anggaran darurat, proyek pemulihan, dan bantuan sosial kerap berubah menjadi ladang kepentingan segelintir pihak. Kapitalisme mengajarkan satu hal yang kejam: di tengah krisis, keuntungan tetap bisa dipanen.

Inilah wajah negara yang absen: pemimpin yang dingin dan rakyat yang dibiarkan bertahan sendiri. Bencana alam mungkin datang dari alam, tetapi krisis kepemimpinan lahir dari sistem buatan manusia.

Islam menawarkan paradigma yang berlawanan. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan adalah amanah, bukan sarana akumulasi kekayaan. Pemimpin adalah ra’in, pengurus dan pelayan umat, yang wajib menjamin kebutuhan rakyat, menjaga keamanan, dan memberikan ketenangan, terutama saat bencana melanda.

Rasulullah saw. bersabda,
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.”
(HR. Bukhari)

Kepemimpinan Islam menuntut negara hadir secara penuh, menjamin kebutuhan dasar rakyat pangan, energi, kesehatan, dan keamanan terutama dalam kondisi darurat. Negara tidak boleh berlindung di balik alasan cuaca, pasar, atau mekanisme distribusi. Ketika hambatan terjadi, negara wajib mencari solusi, bukan sekadar menyalahkan keadaan.

Selain tindakan nyata, Islam menempatkan kejujuran dan tanggung jawab sebagai fondasi kepemimpinan. Amanah kekuasaan tidak boleh dikhianati, baik dalam kebijakan maupun komunikasi publik. Allah Swt. berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.”
(QS. An-Nisa: 58)

Dalam kepemimpinan Islam, pemimpin dituntut turun langsung ke lapangan, menyaksikan kondisi rakyat tanpa sekat elite, dan memastikan tidak ada yang dibiarkan sendirian menghadapi krisis. Negara harus hadir lebih cepat dari kepanikan dan lebih kuat dari ketakutan rakyatnya.

Wallahualam bissawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *