Pasar Babi dan Tantangan Menegakkan Nilai Syariat di Ruang Publik

Jasa Pembuatan Lagu

www.jurnalkota.co.id

Oleh: Alia Salsa Rainna
Aktivis Dakwah

Kota Medan kembali menjadi sorotan. Bukan karena inovasi pelayanan publik, melainkan karena kebijakan baru yang membuka Pasar Hewan Babi melalui kerja sama antara Perusahaan Umum Daerah Rumah Potong Hewan (PUD RPH) dengan PT Porlak Jahe Humbang (PJH) di kawasan Mabar Hilir, Kecamatan Medan Deli.
(Pos Metro Medan, 30 September 2025).

Langkah ini diklaim pemerintah sebagai bentuk penegakan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2021 tentang pengawasan daging. Selain itu, pemerintah daerah menilai pasar hewan tersebut dapat mendukung peningkatan pendapatan asli daerah sekaligus memperkuat rantai pasok komoditas daging di Medan.

Direktur PT PJH, Janto Sitohang, menyebut pihaknya akan melakukan perbaikan infrastruktur agar pasar lebih layak dan higienis. “Kami berkomitmen menyediakan fasilitas pemotongan hewan yang baik, aman, sehat, dan bersih,” ujarnya.

Namun, kebijakan ini memunculkan perdebatan di tengah masyarakat, terutama dari kalangan yang menilai keputusan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Dalam pandangan sebagian umat, langkah ini mencerminkan lemahnya posisi agama dalam perumusan kebijakan publik di era modern.

Sekularisme dan Arah Kebijakan Publik

Fenomena ini dianggap sebagai cerminan dari sistem sekuler yang memisahkan nilai agama dari urusan pemerintahan. Negara yang semestinya menjadi pelindung moral masyarakat justru dianggap melegalkan praktik yang jelas diharamkan dalam Islam.

Kebijakan ekonomi yang berorientasi pada keuntungan finansial semata dikhawatirkan menyingkirkan pertimbangan halal-haram sebagai dasar etika publik. Ketika ukuran keberhasilan hanya dilihat dari peningkatan pendapatan daerah, nilai spiritual dan keberkahan cenderung diabaikan.

Sistem seperti ini juga dinilai melahirkan mentalitas pragmatis di kalangan pemimpin daerah—yakni menilai keberhasilan hanya dari capaian ekonomi, bukan kesejahteraan yang berkeadilan dan bermoral. Akibatnya, pembangunan berisiko kehilangan arah dan makna sosialnya.

Perspektif Islam terhadap Ekonomi dan Syariat

Dalam pandangan Islam, ekonomi bukan semata soal untung-rugi, melainkan harus berlandaskan kehalalan sumber dan kemaslahatan umat. Negara dalam sistem Islam berkewajiban menutup segala bentuk bisnis yang berbasis pada barang haram, termasuk daging babi, serta mengarahkan kebijakan ekonomi pada hal-hal yang mendatangkan keberkahan.

Allah SWT menegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 173:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat tersebut menegaskan keharaman daging babi secara mutlak—baik untuk dikonsumsi, diperdagangkan, maupun dijadikan sumber penghidupan. Semua bentuk pemanfaatannya sebagai komoditas ekonomi termasuk pelanggaran terhadap hukum Allah.

Menatap Kembali Nilai Dasar Pembangunan

Jika syariat Islam ditegakkan secara menyeluruh, pasar dan kegiatan ekonomi bukan sekadar tempat transaksi, tetapi sarana pemerataan kesejahteraan dan penjaga moral masyarakat. Pembangunan yang berpijak pada nilai iman dan takwa diyakini akan menghadirkan keberkahan, bukan sekadar pertumbuhan angka.

Sudah saatnya umat Islam meninjau kembali arah pembangunan yang menyingkirkan nilai agama dari ruang publik. Sebab, keberkahan dan kemuliaan sejati hanya akan hadir bila seluruh aspek kehidupan kembali berpijak pada hukum Allah semata.

Wallahualam bissawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *